PINJAMAN ('ARIYAH)
a.
Pengertian
Al 'Ariyah
Pinjaman atau
'ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, 'ariyah ada
beberapa pendapat :
1.
Menurut
Hanafiyah, 'ariyah ialah :
تَمْلِيْكُ
الْمَنَا فِعِ مَجَا نًا
“Memilikkan
manfaat secara cuma-cuma”.[1]
2.
Menurut
Malikiyah, 'ariyah ialah :
تَمْلِيْكُ
مَنْفَعَةٍ مُؤَ قَّتَةٍ لاَبِعَوْ ضٍ
“Memilikkan
manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”.[2]
3.
Menurut
Syafi'iyah, 'ariyah ialah :
إبَاحَةُ
اْلاِنْتِفَاعِ مِنْ شِخْصٍ فِيْهِ أهْلِيَةٍ التَّبَرُّعِ بِمَايَحِنُ
اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ لِيَرُدَّهُ عَلَى الْمُتَبَرُّعِ
“Kebolehan
mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk
dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada
pemiliknya.”[3]
4.
Menurut
Hanabilah, 'ariyah ialah :
إبَاحَةُ
نَفْعِ الْعَيْنِ بِغَيْرِ عَوْضٍ مِنَ اْلمُسْتَعِرِ أوْ غَيْرِهِ
“Kebolehan
memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”[4]
5.
Ibnu Rif'ah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan 'ariyah ialah :
إبَاحَةُ
اْلاِنْتِفَاعِ بِمَايَحِلُّ اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاِء عَيْنِهِ
لِيَرُدَّه
“Kebolehan
mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat
dikembalikan.”[5]
6.
Menurut
al-Mawardi, yang dimaksud dengan 'ariyah ialah :
هِبَةُ
اْلمَنَافِعِ
“Memberikan
manfaat-manfaat.”[6]
7.
'Ariyah
adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya
kepada orang lain dengan tanpa ganti.[7]
Dengan
dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli di atas, kiranya dapat
dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, namun materi
permasalah-annya dari definisi tentang 'ariyah tersebut sama. Jadi, yang
dimaksud dengan 'ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang
kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu
atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut 'ariyah.
b.
Dasar
Hukum 'Ariyah
Menurut Sayyid
Sabiq, tolong menolong ('ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa 'ariyah hukumnya wajib ketika awal
Islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alqur'an ialah :
وَتَعَاوَنُوْا
عَلَى اْلبِرِّ وَالتَّقْوَاى وَلَاتَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu
tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan (Al-Maidah:2)
إنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمَاناَتِ اِلىَ اَهْلِهَا
“Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya (Al-Nisa :58)
أَدِّالْأَمَانَةَ
إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَاتَخُنْ خَانَكَ
“Sampaikanlah
amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat
sekalipun dia khianat kepadamu” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud).
اَلْعَارِيَةَ
مُؤَذَاةٌ
“Barang pinjaman
adalah benda yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud).
لَيْسَ
عَلىَ الْمُسْتَعِرِ غَيْرِ اْلمُغِلِّ ضَمَانٌ وَلَااْلمُسْتَوْدِعِ غَيْرِ
الْمُغِلِّ ضَمَانٌ
“Pinjaman yang
tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima
titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian” (Riwayat
Daruquthni).
مَنْ
اَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا اَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ
اَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا اَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Siapa yang
meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah akan membayarnya,
barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan
hartanya” (Riwayat Bukhari).
مُطِلُّ
اْلغَنِىِّ ظُلْمٌ
“Orang kaya yang
memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat
aniaya)” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
c.
Rukun
dan Syarat 'Ariyah
Menurut
Hanafiyah, rukun 'ariyah adalah satu, yaitu ijab kabul, tidak wajib diucapkan,
tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam
dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.[8]
Menurut Syafi'iyah, rukun 'ariyah adalah sebagai berikut:
1.
Kalimat
mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini
kepada kamu” dan yang menerima berkata.”Saya mengaku berutang benda anu kepada
kamu.” Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2.
Mu'ir yaitu
orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta'ir yaitu orang menerima utang.
Syarat bagi mu'ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan
syarat-syarat bagi mu'ir dan musta'ir adalah :
l baligh, maka batal 'ariyah yang dilakukan anak
kecil atau shabiy;
l berakal, maka batal 'ariyah yang dilakukan oleh
orang yang sedang tidur dan orang gila;
l orang tersebut tidak dimahjur (di bawah
curatelle), maka tidak sah 'ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada di
bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3.
Benda yang
diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu :
l Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka
tidak sah 'ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung
yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi;
l Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal 'ariyah
yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara', seperti meminjam
benda-benda najis.
d.
Hukum
Asal
Meminjamkan sesuatu barang pada awalnya adalah sunnah
seperti tolong-menolong yang lain. Dan kadang-kadang bisa berubah menjadi
wajib, seperti meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati.
Juga terkadang menjadi harom kalau yang dipinjam itu akan berguna untuk sesuatu
yang harom.
Kaidah menyatakan jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan
hukum yang di tuju.
e.
States
dan Sifat Aqadnya
Peminjam harus bertanggungjawab atas keutuhan dan
keselamatan barang yang di pinjam sampai barang itu di kembalikan kepada
pemiliknya. Kalau untuk keperluan mengembalikan barang yang di pinjam
memerlukan ongkos, maka ongkos itu menjadi tanggung jawab orang yang meminjam.
Dalam hadist disebutkan :
عَنْ
سَمُرَةَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى الْيَدِ مَا
أَخَذَتْ حَتَّى يُؤَدِيَهُ
(رواه
الخمسة الا النسائ)
Artinya :
Dari Sumurah, Nabi SAW, berkata, tanggung jawab orang yang
diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu (Riwayat Lima
orang ahli hadist selain Nasai)
Dalam pinjam meminjam, sewaktu-waktu yang meminjam dan
orang yang meminjamkan dapat mengambil / meminta dikembalikan pinjaman kecuali
jika benda yang di pinjamkan itu berupa tanah untuk kuburan.
Peminjam tanah untuk kuburan tidak boleh diminta kembali
sebelum hilang bekas-bekas mayat. Demikian juga pinjaman tanah untuk menanam
tanaman tertentu, tidak boleh diminta kembali sebelum tanaman di petik
hasilnya. Kedua belah pihak memutuskan akad asal tidak merugikan pihak
lain.Akad 'ariyah juga putus jika salah satu pihak ada yang gila.
Apabila orang yang meminjam meninggal dunia, wajib atas
ahli warisnya mengembalikan barang pinjaman, dan tidak halal bagi mereka
memakainya. Kalau mereka pakai juga, mereka wajib membayar sewanya. Jika
pemutusan akad 'ariyah sudah diketahui oleh peminjam maka peminjam tidak boleh
memakai barang yang di pinjamnya.
f.
Kelonggaran
pada 'Ariyah -'ariyah dari pada penjual pohon dan buah-buahnya
عَنْ
زَيْدِ بْنِ ثَابِتُ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَخَّصَ فِى الْعَرَيَا اَنْ تُبَاعَ بِحَرَّصِهَا كَيْلًا (متفق عليه)
وَالِمُسْلِمٍ: رَخَّصَ فِى اْلعَرِيَّةِ يَأْخُذُهَا اَهْلُ الْبَيْتِ
بِخَرَّصِهَا التَّمْرِا يَأْكُلُوْنَهَا رِطَبًا
artinya:
Dari Zaid bin Tsabit, bahwa RosululLoh SAW beri kelonggaran
pada 'ariyah-'ariyah buat di jual buahnya dengan di taksir sukatanya.
(Muttafaq'alaih).
Dan bagi muslim, ia beri kelonggaran pada 'ariyah buat di
beli oleh ahli rumah itu dengan di taksir dan di bayar dengan kurma kering
supaya mereka bisa makan kurma basah.
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَخَّصَ فِى بَـيْعٍ العَرَايَا بَخَرْصِهَا مِنَ التَّمْرِ فِيْهَا دُوْنَ
خَمْسَةِ اَوْ سُقٍ اَوْ فِي خَمْسَةِ اَوْ سُقٍ (متفق عليه)
Artinya :
Dari Abi Hurairah, bahwasannya RosululLoh telah beri
kelonggaran pada menjual (buah-buah) dari 'ariyah dengan taksir banyaknya
dengan tamar kering pada batas bawah lima wasaq (atau pada lima wasaq).
Keterangan :
1.
'Ariyah itu
artinya yang ashal adalah sesuatu yang dipinjamkan. Yang dimaksudkan di sini
ialah pohon yang dipinjam oleh seseorang. A” kepada seorang B” buat B” ambil
buahnya disatu musim. Jika banyak disebut 'ariyah.
2.
Buah-buah
kurma yang belum kering di pohon pohon 'ariyah itu RosululLoh SAW. Idzinkan B”
menjualnya kepada ahli rumah yang meminjamkan pohon-pohon itu dengan ditaksir
banyaknya sekian wasaq buat dibayar dengan kurma yang sudah kering supaya tuan
rumah yang meminjamkan itu dapat makan akan buah kurma basah.
3.
Batas yang
dibolehkan RosululLoh SAW menjual buah-buah dari pohon 'ariyah ialah banyaknya
lima wasaq. Jadi yang selebihnya tidak boleh di jual yang basah dengan yang
kering.
عَنْ
ابْنُ عَمَر قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَـيْع
الثِّمَارِ حَـتَّى يَـبْوَ وَصَلَاحُهَا، نَهَى الْبَايِعَ وَاْلمَبْتَاعَ (متفق
عليه) وَفِى رِوَايَةِ: وَكَانَ اِذَا سُئِلَ عَنْ صَلَحِهَا قَالَ: حَـتَّى
تَدْهَبَ عَاهُتَمَا
Artinya :
Dari Ibnu Umar, ia berkata RosululLoh SAW telah larang
menjual buah-buahan sebelum nyata jadinya ia larang penjual dan pembeli
(Muttafaq'alaih).
Dan pada satu riwayat , Dan ia apabila ditanya tentang
(masna) nyata jadinya, ia bersabda hingga bahayanya:
عَنْ
اَنَسِ بْنِ مَلِكِ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ بَـْيعَ الثَّمَارِ حَتَّى تُزَهِيَ، قِيْلَ: وَمَا زَهُوهَا، قاَلَ:
تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ (متفق عليه و الفظ للبخارى)
Dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi SAW larang buah-buah
hingga sempurna. Ada orang yang bertanya: Apa (tanda) sempurnanya ? Sabdanya,
ia jadi merah, jadi kuning (Muttafaq'alaih, tetap lafaz itu bagi Bukhari)
وَعَنْهُ
اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَـْيعِ الْعِتَبِ
حَتَّى يَسْوَدَّ، وَعَنْ بَـْيعِ الْحَبَّ حَتَّى يَسْتَدَّ (رواه الخمسة الا
النسائ وصحّحه ابن حبان والحاكم)
Artinya :
Dan dari padanya, bahwasannya Nabi SAW larang menjual
anggur hingga hitam dan (larang) jual biji-bijian hingga keras. Di riwayatkan
dia oleh lima kecuali Nasai dan disyahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim.
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ قاَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَوْ بِعْتَ مِنْ اَخِيْكَ تَمَرًا فَأَصَابَتَهُ جَائِحَةُ فَلَا
يَحِلُّ لَكَ اَنْ تَأْخُدُ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُدُ مَالَ اُخِيْكَ بِغَيْرِ
حَقِّ (رواه المسلم)
Artinya :
Dan dari Jabir bin Abdullah Ia berkata : telah bersabda
RosululLoh SAW, Jika engkau jual kepada saudaramu buah lalu mengenai dia
bahaya, maka tidak boleh engkau ambil daripada nya sesuatu. Dengan (jalan) apa
boleh engkau ambil harta saudaramu dengan tidak haq. Di riwayatkan dia oleh
Muslim.
وفى
رواية له: اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَمَرَ بِوَضَعِ
الْجَوَائُحُ
Dan pada satu riwayat baginya. Bahwasannya Nabi SAW
perintah mengurangkan (harga lantaran) bahaya-bahaya.
Keterangan :
1.
Dibolehkan
seorang jual buah setelah nyata jadinya setelah kalau ada bahaya penyakit
mengenai buah-buah itu mestinya atas tanggungan pembeli. Tetapi hadist ini
menanggungkan atas penjual. Yang demikian ini bisa jadi lantaran penjual belum
tegaskan bahwa ia sudah berlepas diri dari pada menanggung kerugian-kerugian
yang akan terjadi atas buah-buah itu dengan sebab kecurian, kebanjiran.
Penyakit dan lain-lainnya.
2.
Harga
buah-buahan yang kena bahaya penyakit atau lainnya RosululLohSAW, perintah
supaya di kurangi, yaitu di kurangi menurut banyak sedikitnya kerusakan.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ:
مَنِ ابْتَاعَ تَحْلًا بَعْدَ اَنْ تُـؤَبَّرَ فَسَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ الَّذِى
يَاعَهَا اِلَّا اَنْ يَسْتَرِهَا الْمُبْتَاعُ (متفق عليه)
Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bahwasannya ia bersabda :
Barang siapa beli pohon kurma sesudah dikawinkan, maka buahnya itu (adalah) haq
penjual yang menjualnya kecuali disyaratkan pembeli. (Muttafaq'alaih)
Keterangan :
1.
Kurma itu
tidak jadi buahnya atau tidak baik jadinya kalau tidak dikawinkan.
2.
Cara
mengkawinkannya itu ialah dengan menarik mayang pohon betina lalu ditaburkan
padanya benih yang diambil mayang pohon jantan.
[1] Lihat, abd al-Rahman
al-Jaziri, dalam; al-Fiqh 'Ala Madzahib al-Arha'ah,ttptp Th. 1969 hlm 270.
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm.271
[4] Ibid.
[5] Lihat, Abi Bakr Ibn Muhammad
Taqiy al-Din, dalam; Kifayah ahyar, Alma'arif Bandung. Tth hlm. 291.
[6] Ibid.
[7] Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, 1977 hlm.67.
[8] Abd Al-Rahman Al-Jaziri,
op.cit.hlm.272.
HIWALAH
( الحوالة )
Pengertian Hiwalah
Hiwalah (ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ) berarti pengalihan,
pemindahan, berubah kulit dan memikul sesuatu diatas pundak.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang
(pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau
membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak
pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran
maupun tidak.
Ulama mazhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan
Hiwalah ialah pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang
(al-muhiil =ﺍﻟﻣﺤﻴﻞ ) kepada
yangberhutang lainnya ( muhaal ‘alaih= ﺍﻟﻣﺤﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ )
Ulama mazhab Hanafi lainnya (Kamal bin Humman) mendefinisikanya
dengan : ”Pengalihan kewajiban membayarkan hutang dari pihak pertama kepada
pihak lainya yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai”.
Dasar Hukum Hiwalah
Pelaksanaan Al-Hiwalah dibenarkan dalam islam.
Sebagaimana sabda Rosulullah
saw:
ﻣﻄﻝﺍﻠﻐﻧﻰ ظﻠﻡ ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺗﺒﻊﻋﻠﻰﻣﻠﻰﺀﻓﺎﻠيتبع (ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺠﻣﻪﻋﺔ
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang
kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang
yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan
tersebut)”.(HR Jama’ah). Sabda Rosulullah saw:
ﻣﻄﻝ ﺍﻠﻐﻨﻰظﻠﻡ ﻔﺈﺫﺍ ﺃﺣﻴﻝ ﺃﺣدﻛﻡﻋﻀﻰﻣﻠﻰﺀ ﻓﻠﻴﺣتل (ﺭﻭﺍﻩﺃﺣﻣﺩﻭﺍﻠﺑﻴﻬﻘﻰ)
“Orang yang mampu membayar hutang haram atasnya
melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya
kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu
membayar”.(HR Ahmad dan Baihaqi)
Jenis Hiwalah
Mazhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian,
ditinjau dari segi objek aqad maka hiwalah dapat dibagi dua:
1. Apabila
dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang,maka pemindahan itu disebut hiwalah Al haqq(ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﺤﻕ)atau pemindahan hak.
2. Apabila
dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah Al-Dain (ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﺩﻴﻦ)
atau pemindahan hutang
Ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi dua pula yaitu:
1. Pemindahan
sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang
disebut hiwalah al-muqayyadah ( ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﻣﻘﻴﺩﺓ ) atau pemindahan bersyarat
2. Pemindahan hutang yang tidak ditegaskan
sebagai ganti dari
pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut hiwalah
al- muthadah ( حوالة المطدة ) atau pemindahan mutlak.
Rukun Hiwalah
Menurut
mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah)
dari pihak pertama, dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari pihak
kedua dan pihak ketiga.
- Pihak pertama
- Pihak kedua
- Pihak ketiga
- Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua
- Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
- Ada sighoh (pernyataan hiwalah)
Syarat
Hiwalah
Semua imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali) berpendapat bahwa hiwalah menjadi syah apabila sudah terpenuhi
Syarat-syaratnya yang berkaitan dengan pihak pertama, kedua, dan ketiga serta yang berkaitan
hutang itu.
Syarat bagi pihak pertama
Cukup dalam melakukan tindakan hukum
dalam bentuk aqad yaitu baligh dan berakal hiwalah tidak syah dilakukan oleh
anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz)
Ada persetujuan jika pihak
pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka aqad tersebut tidak syah.
Syarat kepada pihak kedua
Cukup melakukan tindakan hukum yaitu balig dan berakal
Disyaratkan ada
persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah
(mazhab Hanafi sebagian besar mazhab Maliki dan Syafi’i)
Syarat bagi pihak ketiga
Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagai
syarat bagi pihak pertama dan kedua.
Disyaratkan ada pernyataan
persetujuan dari pihak ketiga(mazhab Hanafi) sedangkan mazhab lainya
(Maliki, Syafi’i dan Hambali) tidak mensyaratkan hal ini, sebab dalam aqad
hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai objek aqad
Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani menambahkan bahwa kabul tersebut dilakukan dengan sempurna
oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis aqad.
Syarat yang dilakukan
terhadap hutang yang dialihkan.
Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang
sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti
Apabila mengalihkan hutang
itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadah semua ulama fiqih menyatakan
bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua maupun hutang kepada pihak
ketiga kepada pihak pertama meski sama jumlah dan kwalitasnya.
Mazhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut mesti sama
pula, waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka tidak sah
Akibat Hukum
Jika aqad hiwalah telah terjadi maka
akibatnya:
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak
pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua dengan sendirinya menjadi
terlepas
Aqad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut
pembayaran hutang kepada pihak ketiga
Mazhab Hanafi yang
membenarkan terjadi hiwalah al-muthallaqoh ( حوالة المطلقة ) berpendapat bahwa jika aqad hiwalah al-muthallaqoh terjadi karena inisiatif
dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak
ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad hutang piutang sebelumnya, masih
tetap berlaku. Khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga
pihak tidak sama.
Akad hiwalah berakhir
Akad hiwalah berahkir jika terjadi hal-hal
berikut:
Salah satu pihak
yang melakukan akad tersebut membatalkan akad, sebelum akad itu berlaku secara
tetap.
Pihak
ketiga melunasi hutang yang dialihkan kepada pihak kedua.
Jika pihak kedua meninggal
dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak
kedua.
Pihak kedua menghibahkan atau
menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada
pihak ketiga
Pihak kedua membebaskan pihak
ketiga dari kewajibanya untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.
Menurut mazhab Hanafi, hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi kerena pihak ketiga
mengalami pailit (bangkrut) atau meninggal dunia dalam keadaan pailit.
Persyaratan-persyaratan yang telah disepakati bersama harus dipatuhi oleh
semua pihak.
Sebagaimana sabda
Rosulullah saw:
(ﺍﻠﻣﺴﻠﻣﻭﻦﻋﻠﻰﺷﺭﻭﻂﻬﻡ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺘﺭﻣﻴﺫﻯﻭﺍﻠﺣﺎﻜﻡ
“Umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan
(bersama) ”(HR Tirmizi dan Al Hakim)
Sekiranya ada pihak yang diragukan dalam
melaksanakan akad hiwalah itu. Maka ia dapat mengadakan gugatan yang sudah
barang tentu bukti yang kuat dengan dapat dipertanggung jawabkan.
Sabda Rosulullah saw:
ﺍﻠﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰﺍﻠﻣﺩﻋﻰ ﻭﺍﻠﻴﻣﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻑ ﺍﻠﺣﺭ(ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺒﺨﺭﻯﻭﺍﻠﺗﺭﻣﻴﺫﻯﻭﺍﺒﻦﻣﺎﺟﻪ )
“Penggugat wajib
mengajukan alat bukti sedangkan tergugat menyatakan sumpah”(HR Bukhori,
Tirmuzi, dan Ibnu Majah).
AL IJARAH
I.
|
Menurut etimologi, ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya
menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dikemukakan
beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama’ fiqih:
a.
Ulama’
Hanafiyah
عَقْدٌ
عَلَى الْمَنَافِعِ بِعَوْضِ
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.
Ulama
Asy-syafi’iyah
عَقْدُ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ
مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلاِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ.
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud
tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti
tertentu.”
c.
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيْئٍ مُبَاحَةٍ
مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya:
Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam
waktu tertentu dengan pengganti.”
Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil
manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni
mengambil manfaat dari barang.
Jumhur ulama fiqih
berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah
manfaatnya bukan bendanya.
Menanggapi pendapat
di atas, Wahbah Al-Juhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai
asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama fiqih adalah asal fasid(rusak) sebab
tidak ada landasannya, baik dari Al-Quran, As-sunah, ijma’ maupu qiyas yang
shahih.
II.
Landasan Hukum
Hampir
semua ulama’ fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam islam. Adapun
golongan yang tidak menyepakatinya, alasannya bahwa ijarah jual beli
kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang(tidak ada). Suatu yang tidak ada tidak
dapat dikategorikan jual beli.
Dalam
menjawab ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat
bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran
menurut kebiasaan (adat).
Jumhur
ulama’ berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah,
dan ijma’.
Umat
islam pda masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah
dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
·
Hukum
Ijarah
-
Hukum
ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi
pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli
pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
-
Hukum
ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat
tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari
kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.
Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis
pekerjaan peranjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah
fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau
ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
III.
Rukun, Syarat Ijarah
a.
Rukun Ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan
menggunakan kalimat: al-ijarah,
al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun
menurut jumhur Ulama’, rukun ijarah ada 4(empat), yaitu:
1. ‘Aqid (orang yang akad)
2. Shighat
aqad
3. Ujrah (upah)
4. Manfaat
b.
Syarat Ijarah
Syarat
ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad),
syarat sah, dan syarat lazim.
1. Syarat
Terjadinya Akad
Syarat in’inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid,
zat akad, dan tempat akad.
2. Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid
atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliyah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan
oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya)
tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.
Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqaid (orang
yang akad), ma’qud ‘alaih (barang
yang menjadi objek akad), ujrah
(upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad),
yaitu:
a. Adanya
keridaan dari kedua pihak yang akad
b. Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
1. Penjelasan
manfaat
2. Penjelasan
waktu
3. Sewa
bulanan
4. Penjelasan
jenis pekerjaan
5. Penjelasan
waktu kerja.
c.
Ma’qud
‘Alaih barang harus dapat memenuhi secara syara’
d.
Kemanfaatan
benda dibolehkan menurut syara’
e.
Tidak
menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
f.
Tidak
mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa.
g.
Manfaat
ma’qud ‘alaih sesuai denagn keadaan yang umum.
4. Syarat
Barang Sewaan (Ma’qud ‘alaih)
Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau
dikuasai. Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. Yang melarang menjual
barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam ual-beli.
5. Syarat
Ujrah (upah)
Para Ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
1.
berupa
harta tetap yang dapat diketahui
2.
Tdak boleh
sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk
ditempati denagn menempati rumah tersebut.
6. Syarat
yang Kembali pada Rukun Akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang
tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan
rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama
sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.
7. Syarat
Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut:
1.
Ma’qud
‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat.
2.
Tidak ada
unsur yang dapat membatalkan akad
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya unsur sebab kebutuhan
atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur yang dimaksud adalah sesuatu
yang baru yang menyebabkan kemadharatan bagi yang akad. Uzur dikategorikan
menjadi tiga macam:
a.
Uzur dari
pihak penyewa
b.
Uzur dari
pihak yang disewa
c.
Uzur pada
barang yang disewa
IV.
Sifat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang
didasarkan pada firman Allah SWT: ( ayat ), yang boleh dibatalkan. Pembatalan
tersebut dikaitkan pada aslnya, bukan didasarkan pada pemenuhan akad.
Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah
akad yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak
pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan
pendapatnya pada ayat Al-Quran diatas.
Berdasarkan dua pandangan diatas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah
batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan
kepada ahli waris. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi
berpindah kepada ahli warisnya.
V.
Macam-Macam Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau
sewa menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
1. Hukum
Sewa Menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah,
kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang
diharamkan.
2. Hukum
Upah-Mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli
jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian,
membangunkan rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu:
a. Ijarah Khusus
yaitu
ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak
boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
b.
Ijarah
Musytarik
Yaitu
ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya
dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.
Tanggung Jawab yang Disewa
(Ajir) dan Gugurnya Upah
a.
Ajir
khusus
Ajir khusus, sebagaimana dijelaskan diatas adalah orang
yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu rumah tangga.
Jika ada barang yang rusak, ia tidak bertanggung jawab untuk menggantinya.
b.
Ajir
Musytarik
Ajir Musytarik, seperti para pekerja dipabrik, para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan tanggung jawab mereka.
1.
Ulama
Hanafiyah, Jafar, Hasan ibn Jiyad, dan Imam Syafi’i.
Pendapat yang paling shahih adalah mereka tidak
bertanggung jawab atas kerusakan sebab kerusakan itu bukan disebabkan oleh
mereka, kecuali bila disebabkan oleh permusuhan,
2.
Imam Ahmad
dan dua sahabat Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa ajir bertanggung jawab atas
kerusakan jika kerusakan disebabkan oleh mereka walaupun tidak sengaja, kecuali
jika disebabkan oleh hal-hal yang umum terjadi.
3.
Menurut
ulama Malikiyah
Pekerja bertanggung jawab atas kerusakan yang
disebabkannya walaupun tidak sengaja atau karena kelalaiannya.
¥ Perubahan
dari Amanah Menjadi Tanggung Jawab
Sesuatu
yang ada ditangan ajir, misalnya kain pada seorang penjahit, menurut ulama
Hanafiyah dianggap sebagai amanah. Akan tetapi, amanah tersebut akan berubah
menjadi tanggung jawab bila dalam keadaan berikut:
a. tidak menjaganya
b. dirusak dengan sengaja
Dalam ajir musytarak, apabila murid ajir ikut membantu,
pengajarnyalah yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
c. menyalahi pesanan penyewa.
¥ Gugurnya
Upah
Para ulama berbeda peendapat dalam menentukan upah bagi
ajir, apabila barang yang ditangannya rusak.
Menurut
ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimiliki oleh penyewa, ia
tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada ditangannya, ia tidak
mendapat upah. Pendapat tersebut senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
Ulama
Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat diatas. Hanya saja diuraikan lagi:
a. Jika benda ada ditangan ajir
1. Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak
mendapat upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.
2. Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir
berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.
b. Jika benda berada ditangan penyewa
Pekerja
berhak mendapat upah setelah selesai bekerja.
¥ Pengekangan
Barang
Ulama
Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekang barang yang telah ia kerjakan,
sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan, barang
tersebut rusak, ia harus bertanggung jawab.
VI.
Akhir Ijarah
Sebenarnya, tentang penghabisan ijarah telah disinggung
pada pembahasan terdahulu. Namun demikian, akan dijelaskan kembali|:
1.
Menurut
ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang
akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun
menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.
2.
Pembatalan
akad.
3.
Terjadi
kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan
pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti
selagi masih dapat diganti.
4.
Habis
waktu, kecuali kalau ada uzur
LUQOTOH BARANG TEMUAN)
A.
Pengertian
Luqothoh
menurut bahasa artinya : barang temuan.[1]
Al-Luqothoh
ialah barang yang didapat dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorang pun.[2] Mengenai
pendapat Para ulama tentang definisi luqothoh, misalnya Ulama Hanfiyah,
mengatakan:
مال يوجد ولا يعرف مالكه وليس بمباح كمال الحربي
Harta yang
ditemukan seseorang, tidak diketahui pemiliknya dan harta itu tidak termasuk
harta yang boleh dimiliki (almubah), seperti harta milik kafir harbi (kafir
yang memusuhi umat Islam)[3]
Ulama Hanbali mendefinisikan luqothoh sebagai berikut:
المال الضائع من ربّه
يلتقطه غيره
Harta seseorang yang hilang di jalanan, dan
ditemukan oleh orang lain.
B.
Hukum mengambil barang
temuan[4]
- Sunnah, bagi orang yang percaya pada dirinya, sanggup mengerjakan segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan kepada barang itu sebagaimana mestinya.
- Wajib, apabila kemungkinan besar barang itu akan hilang tersia-sia kalau tidak diambilnya
- Makruh, bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya, boleh jadi barang itu akan khianat terhadap barang itu dikemudian hari
C. Status Barang di
tangan penemunya
Orang yang
menemukan berkewajiban memelihara barang temuan seperti memelihara barangnya
sendiri. Dalam hal ini tidak ada bedanya; untuk barang yang remeh atau penting.
Barang
tersebut berada padanya sebagai barang wadi’ah (titipan). Ia tidak
berkewajiban menjamin jika terjadi kecelakaan, kecuali dengan sengaja.[5]
Wadi’ah
artinya sesuatu yang dititipkan oleh pemiliknya kepada orang lain.
فليؤد ال1ى اؤتمن
امانته ... (البقرة : 283)
“Maka hendaklah yang dipercaya
itu menunaikan amanatnya”
Wadi’ah
yang rusak akibat kelalaian orang yang diserahi, wajib menggantinya. Tetapi
jika bukan karena kelalaiannya, maka tidak wajib ganti.
Kelalaian
tersebut ada 9 macam:
1. Orang yang diserahi menyerahkannya
kepada orang lain
2. wadi’ah dibawa pergi
3. memindahkan ke tempat
lain sehingga sukar memeliharanya
4. Dikala sakit tidak berwasiat
5. Mengambil manfaat
6. Menyelisihi ketentuan
pemeliharaan
7. meninyia-nyiakan
8. berkhianat; ketika
diminta oleh pemiliknya tidak diberikan
9. lengah dalam
memelihara[6]
D. Macam-macam barang
temuan
Macam-macam barang temuan ada
empat yaitu
1. Benda yang nilainya
tetap, seperti: emas, perak, uang dan lain-lain, maka diumumkan selama satu
tahun.
2. Benda yang nilainya
tidak tetap, bahkan cepat rusak dan barang kecil, seperti makanan, maka boleh
antara dimakan atau dijual yang harganya disimpan.
Dari anas, bahwa Nabi Muhammad
Saw pernah menemukan buah-buahan di tengah jalan, beliau kemudian bersabda:
لولا اني اخاف ان تكون من الصدقة
لاكلتها. (رواه البخارى ومسلم)
“Kalaulah aku tidak takut bahwa buah itu barang sedekah
(zakat), niscaya aku akan memakannya”
رخص
لنا رسول الله صلى الله
عليه وسلم في العصا والسوط
والحبل واصباهه يلتقطه الرجل ينتفعبه.
(اخرجه احمد
واو داود)
“Rosulullah memberikan keringanan (rukhshah) kepada
kami yaitu: tongkat, cambuk, tambang dan sejenisnya yang ditemukan seseorang,
ia boleh memanfaatkannya”
3.
Benda yang nilainya tetap apabila
dipelihara, seperti padi yang masih berkulit dll, harus diperhatikan
kemaslahatannya. Apabila lebih baik dijual maka harus dijual dan harganya
diumumkan dan apabila lebih baik disimpan, maka harus disimpan dan diumumkan.
4. Benda yang memerlukan
nafkah seperti
a. Binatang.
Ada binatang kecil dan ada
binatang besar. Binatang kecil lebih baik dipungut. Sedang binatang besar,
dibiarkan sampai bertemu pemiliknya, sebab bisa menyelamatkan diri. Tetapi
apabila di tempat yang tidak bisa hidup, seperti dalam bangunan, lebih baik
dipungut.[7]
b. Anak.
Apabila ada anak terlantar di
jalan, tidak berayah, tidak bersaudara, lebih baik dipungut untuk dipelihara
dan dididik.
Firman Allah Swt:
تعاونو على البر والتقوى (المائده )
“Bertolong-tolonglah
dalam kebijakan dan taqwa”
Seorang anak mempunyai kehormatan (harrga diri),
maka harus dipelihara dan dididik serta diperbaiki keadaannya.
Orang yang memungut harus memenuhi 4 syarat,
yaitu:
a. Sanggup menganggung
beban
b. Islam. Orang kafir
tidak berhak memungut orang Islam.
c. Adil. Orang yang
fasiq tidak bisa mendidik.
d. Pandai membelanjakan
harta. Orang yang pemboros tidak bisa memelihara anak dengan baik.
Apaila anak yang dipungut mempunyai harta,
pemerintah bisa menggunakan untuk pemeliharaannya. Apabila tidak, bisa
dipelihara dengan harta sosial.
E. Pengumuman Barang
Temuan
Wajib hukumnya bagi orang yang
menemukan barang temuan untuk mengamati tanda-tanda yang memberdakannya dengan
barang yang lainnya, baik itu berbentuk tempatnya, atau ikatannya, demikian
pula yang berhubungan dengan jenis ukurannya.[8]
Apabila seseorang mengambil
barang temuan, maka wajib atasnya segera mengumumkan 6 hal, yaitu tempatnya,
sampulnya, talinya, jenisnya, bilangannya, dan timbangannya. Berdasarkan
hadits:[9]
ان النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن
لقطة الذهب والورق, فقال: وكاءها وعفاصهل, ثم عرفها ستة, فان لم تعرفها فاستبقها,
ولتكن عندك وديعة, فان جاء طلبها يوما من الدهر, فادها اليه (رواه الشيخان)
”Bahwasanya Nabi SAW, ditanya tentang temuan mas dan perak, lalu
bersabda: Umumkanlah temapt dan sampulnya, kemudian umumkanlah selama satu
tahun. Jika tidak kamu umumkan, maka simpanlah dan anggaplah barang titipan di
tempatmu. Jika suatu hari datang, maka berikanlah kepadanya”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Penemu berkewajiban
mengumumkannya kepada masyarakat dengan cara di padar dan di tempat-tempat lain
yang diduga kuat pemiliknya ada di tempat itu.
Jika pemiliknya datang dan ia
menyebutkan tanda-tanda dan ciri-ciri barang temuan tersebut dengan sempurna,
maka si penemu dibolehkan menyerahkannya kepada orang tersebut, sekalipun tidak
ada bukti nyata.
Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan ileh Bukhori dan Tirmidzi dari Suwaid bin Ghaflah yang berkata:[10]
Aku bertemu Aus Bin Ka’ab, ia
berkata: Aku pernah mendapati sebuah bungkusan berisi seratus dinar. Kemudian
aku temui Rosulullah Saw, lalu beliau bersabda:
عرفها حولا, فعرفتها فلم اجد, ثم
اتيته ثلاثا فقال: احفظ وعاءها ووكاءها فان جاء صاحبها والا فاستمتع بها.
“Perkenankalkanlah
selama satu tahun”, kemudian aku memperkenalkannya dan tidak ada yang mengaku.
Lalu aku datangi beliau lagi sebanyak tiga kali, kemudian beliau bersabda:
”Simpanlah tempatnya dan bungkusnya kalau-kalau nanti datang pemiliknya, jika
tidak manfaatkanlah”
Jika seseorang yang mengambil
telah mengumumkan barang temuannya selama satu tahun di tempat umum, maka ia
boleh memiliki barang tersebut atas dasar tanggungan artinya jika pemiliknya
datang ia harus mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya.
Menurut An Nawawi dalam mengumumkan
tidak usah disebutkan semua sifatnya, agar tidak ditipu oleh pendusta.
Perlu juga diketahui dalam
masa setahun itu tidak harus diumumkan setiap hari, tetapi cukup misalnya
awalnya sehari tiga kali, kemudian setiap hari sekali, setiap minggu sekalai
dan sebulan sekali.[11]
Daftar Pustaka
Rifa’I, Moh dkk. 1978. Terjemah Khulashoh Kifayatul Akhyar. Semarang:
CV. Toha Putra
Rasjid, Sulaiman. 1976. Fiqh Islam. Jakarta: At Tahiriyah
Sabiq, Sayyid.
1987. Fikih Sunnah 13. Bandung: PT. Alma’arif
[1]
Moh Rifa’I,dkk, Terjemah Khulashoh Kifayatul Akhyar, Semarang: CV. Toha
Putra, 1978, hlm. 236
[2]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: At Tahiriyah, 1976, hlm. 316
[3]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa nihayah al muqtashid, jilid II, hlm. 299
[4]
Ibid
[5]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Bandung: PT. Alma’arif, 1987, hlm.90
[6]
Moh Rifa’I, dkk, Op.cit,… hlm. 241
[7]
Muh. Rifa’I,dkk, Opcit, hlm. 239
[8]
Sayyid Sabiq, Opcit, hlm. 90
[9]
Muh. Rifa’I, dkk, Opcit, hlm. 236
[10]
Sayyid Sabiq, Opcit, hlm. 90
[11]
Muh. Rifa’I, dkk, Opcit, hlm. 239
AL-WADI’AH
(BARANG TITIPAN)
I.
Pengertian
Secara
etimologi, kata al-wadi’ah
berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk
dipelihara. Secara terminologi, ada dua definisi al-wadi’ah yang dikemukakan pakar fiqh.
Pertama, definisi yang dikemukakan
oleh ulama Hanfiyah. Menurut mereka, al-wadi’ah adalah:57
تَسْلِيْطُ الْغَيْرِ عَلَى حِفْظِ
مَالِهِ صِرِيْحًا اَوْدَلاَلَةً
Artinya:
Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta,
baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.
Kedua,
definisi yang dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabiyah (jumhur
ulama). Menurut mereka, al-wadi’ah
adalah:58
تَوْكِيْلُ فِى حْفِظٍ مَمْلُوْكٍ
عَلَى وَجْهِ مْخْصُوْصٍ
Artinya:
Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta
tertentu denagn cara tertentu.
II. Dasar
Hukum
Sebagai salah satu akad yang bertujuan untuk saling
membantu antara sesama manusia, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa al-wadi’ah
disyariatkan dan hukum menerimanya adalah sunnah. Alasannya adalah firman Allah
dalam surat an-Nisa, 4:58 yang berbunyi:
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya...”
Ayat ini, menurut para mufasir, berkaitan dengan
penitipan kunci ka’bah sebagai amanah Allah pada Utsman ibn Thalhah, seorang
sahabat Nabi SAW.
Dalam surat al-Baqarah 2:283
Allah berfirman:
Artinya:
..hendaknya yang dipercayai itu menunaikan
amanah...”
Sedangkan landasan hukum al-wadi’ah yang lain adalah sabda
Rasulullah SAW:
اَدِّ اْلاَمَانَةَ اِلىَ مَنْ اِئِتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
(رواه ابو داود والترمذى والحاكم)
Artinya:
Serahkanlah amanah orang yang mempercayai engkau,
dan jangan kamu menghianati orang yang menghianati kamu. (HR. Abu Daud,
at-Tirmizi dan al-Hakim)
Berdasarkan
ayat dan hadits ini, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad al-wadi’ah
(titipan) hukumnya boleh dan disunatkan, dalam rangka saling tolong menolong
antara sesama manusia. Oleh sebab itu, ibn Qudamah (541-620H/1147-1223M), pakar
fiqh Hanbali, menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW. sampai
generasi-generasiberikutnya, akad al-wadi’ah telah menjadi ijma’’amali (konsensus dalam
praktik) bagi umat Islam dan tidak ada seorang ulama fiqh pun yang
mengingkarinya.
III. Rukun
al-Wadi’ah
Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa rukun al-wadi’ah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
penitipan barang dari pemilik, seperti “saya titipkan sepeda ini pada engkau),
dan qabul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi, seperti “saya
terima titipan sepeda anda ini).
Akan tetapi, jumhur ulama fiqh mengatakan bahwa
rukun al-wadi’ah
ada tiga, yaitu:
(a)
Orang
yang berakad
(b)
Barang
titipan
(c)
Shighat
ijab dan qabul
Baik secara lafal atau melalui tindakan. Rukun
prtama dan kedua yang dikemukakan jumhur ulama ini, menurut ulama Hanafiyah
termasuk syarat, bukan rukun.
IV. Syarat-syarat
al-Wadi’ah
Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa yang menjadi syarat bagi kedua belah pihak yang
melakukan akad adalah orang yang harus berakal. Apabila anak kecil yang telah
berakal dan diizinkan oleh walinya untuk melakukan transaksi al-wadi’ah,
maka hukumnya sah. Mereka tidak mensyaratkan balig dalam persoalan al-wadi’ah.
Akan tetapi, anak kecil yang belum berakal, atau orang yang kehilangan
kecakapan bertindak hukumnya, seperti orang gila, tidak sah melakukan al-wadi’ah.
Sedangkan
menurut jumhur ulama, pihak-pihak yang melakukan transaksi al-wadi’ah disyaratkan
telah balig,
berakal, dan cerdas, karena akad al-wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko
penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil, sekalipun telah berakal tidak dibenarkan
melakukan transaksi al-wadi’ah,
baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun sebagai orang yang menerima
titipan barang. Disamping itu, jumhur ulama juga mensyaratkan orang yang
berakad harus cerdas. Sekalipun telah berakal dan balig, tetapi kalau tidak
cerdas, tidak sah untuk melaksanakan transaksi al-wadi’ah.
Syarat
kedua akad al-wadi’ah
adalah bahwa barang titipan itu jelas dan boleh dikuasai (al-qabdh). Maksudnya,
barang yang dititipkan itu boleh diketahui identitasnya dengan jelas dan boleh
dikuasai untuk dipelihara. Menurut para ulama fiqh, syarat kejelasan dan dapat
dikuasai ini dianggap paling penting karena terkait erat dengan masalah
kerusakan barang titipan yang mungkin akan timbul atau barang itu hilang selama
dititipkan. Jika barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai orang yang
dititipi, apabila hilang atau rusak, maka orang yang dititipi tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban di mahkamah.
V. Sifat
Akad al-Wadi’ah
Dilihat
dari segi sifat akad al-wadi’ah,
para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa akad al-wadi’ah bersifat mengikat bagi kedua
belah pihak yang melakukan akad. Apabila seseorang dititipi barang oleh orang
lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat al-wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung
jawab untuk memelihara barang titipan itu. Namun demikian, apakah tanggung
jawab memelihara barang itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (adh-dhaman)?
Dalam kaitan dengan ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status al-wadi’ah di tangan
orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga seluruh kerusakan
yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggung jawab orang yang
dititipi, kecuali kerusakan itu dilakukan secara sengaja atau atas kelalaian
orang yang dititipi.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang
mengatakan:
Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan
penghianatan tidak dikenakan ganti rugi. (HR. Al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Dalam riwayat lain dikatakan:
ﻻضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمِنِ (رواه الدار قطنى عن عمر بن شعيب)
Artinya:
Orang yang dipercaya memegang amanah tidak boleh
dituntut ganti rugi. (HR. asDarquthni dari ‘Amr ibn Syu’aib)
Berdasarkan
hadis-hadis ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila dalam akad al-wadi’ah
disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas keruakan barang
selama dalam titipan, sekalipun kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan
atau kelalaiannya, maka akadnya batal. Akibat lain dari sifat amanah yang
melekat pada akad al-wadi’ah adalah pihak ang dititipi barag tida boleh
meminta upah dari barang titipan itu.
Dalam
kaitannya dengan tata cara memelihara barang titipan, terdapat perbedaan
pendapat para ulama fiqh.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa titipan itu hanya menjadi tanggung jawab orang
yang dititipi. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa pihak keluarga yang ikut
bertanggung jawab atas barang titipan itu hanya orang-orang yang dapat
dipercayai oleh penerima titipan. Apabila orang-orang ini lalai dalam
memelihara barang titipan itu, sehingga barang itu hilang, mereka juga ikut
bertanggung jawab.
Akan
tetapi ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa barang titipan itu harus
dipelihara oleh orang yang dititipi sebagaimana memelihara barangnya sendiri, baik
pemeliharaan itu dilakukan sendiri oleh orang yang dititipi maupun dilakukan
oleh orang-orang yang berada dibawah tanggung jawabnya. Ulama Hanafiyah bahkan menyatakan
bahwa al-wadi’ah juga
menjadi tanggung jawab orang yang bekerja sama dengan orang yang dititipi. Oleh
sebab itu, apabila orang-orang yang seperti ini lalai dalam memelihara barang
itu sehingga barang itu hilang, maka mereka juga boleh dimintai pertanggung
jawabannya.
VI. Perubahan
Akad al-Wadi’ah dari Amanah Menjadi ad-Dhaman
Derkaitan
dengan sifat akad wadi’ah sebagai akad yang bersifat amanah, yang imbalannya
hanya mengharap ridha Allah, para ulama fiqh juga membahas kemungkinan
perubahan sifat akad al-wadi’ah
dari sifat amanah menjadi sifat adh-dhaman (ganti rugi). Para ulama fiqh mengemukakan
beberapa kemungkinan tentang hal ini:
a.
Barang
itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang merusak barang
itu dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu, maka
ia dianggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu merupakan kewajiban
baginya. Atas kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi (adh-dhaman).
b.
Barang
titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak ketiga) yang
bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggung jawabnya. Apabila barang
itu hilang atau rusak, dalam kasus seperti ini, orang yang dititipi dikenakan
ganti rugi.
Tetapi, menurut jumhur ulama,
termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, keduanya pakar fiqh
Hanafi, menyatakan bahwa pemilik barang boleh memilih meminta ganti rugi kepada
pihak pertama atau pihak kedua.
c.
Barang
titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. Dalam kaitan ini para ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila orang yang dititipi barang itu
menggunakan barang titipan dan setelah ia gunakan barang itu kemudian rusak, maka
orang yang dititipi wajib membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan itu
disebabkan faktor lain diluar kemampuannya. Alasan mereka adalah, karena barang
titipan itu dititipkan hanya untuk dipelihara, bukan untuk digunakan, karenanya
dengan memanfaatkan barang titipan, al-wadi’ah boleh dianggap batal. Atau dengan kalimat
lain, pemanfaatan barang titipan, menurut mereka, berarti suatu penghianatan.
d.
Orang
yang dititipi al-wadi’ah mengingkari
al-wadi’ah
itu. Apabila pemilik barang meminta kembali barang titipannya pada orang yang
ia titipi, lalu orang yang disebut terakhir ini mengingkarinya atau ia
sembunyikan, sedangkan ia mampu untuk mengembalikannya, maka ia dikenakan ganti
rugi. Hukum ini disepakati ulama fiqh.
e.
Orang
yang dittipi barang itu mencampurkannya dengan harta pribadinya, sehingga sulit
untuk dipisahkan. Jumhur ulama berpendapat apabila barang itu sulit dipisahkan,
maka pemilik berhak meminta ganti rugi. Tetapi, jika barang itu boleh
dipisahkan, maka pemilik barang mengambil barangnya itu.
menurut Abu Yusuf dan
Muhammad ibn al-Hasan asy-syaibani, dalam kasus seperti ini pemilik
barang bisa memilih. Apabila ia mau, barang itu dijual semuanya, dan kemudian
ia mengambil uang hasil penjualan itu senilai barang yang ia titipka. Atau, ia
ambil setengah dari hartanya yang telah tercampur dengan harta orang yang
dititipi itu.
f.
Orang
yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan. Misalnya, pemilik
barang mensyaratkan bahwa barang itu dipelihara atau diamankan di rumah,
dikantor atau dalam brangkas, tetapi syarat itu tidak dipenuhi orang yang
ditipi. Apabila barang itu rusakatau hilang, maka ia dikenakan ganti rugi,
kecuali tempat pemindahan itu sama dengan syarat-syarat yang dikemukakan
penitip barang.
g.
Barang
titipan dibawa bepergian (as-safar). Apabila orang yang dititpi melakukan suatu
perjalanan yang panjang dan lama, lalu ia bawa barang titipan itu dalam
perjalanannya,maka penitip barang boleh meminta ganti rugi.
Dalam
perkembangan konsep al-wadi’ah diberbagai dunia Islam dijumpai berbagai bentuk,
semakin bervariasi, dan pihak-pihak yang terlibat pun semakin beragam.
Misalnya, giro pos dan tabungan yang dikelola oleh pihak perbankan, pada
dasarnya, merupakan barang titipan yang dapat diambil setiap saat oleh orang
yang menitipkannya,
Akan tetapi, tabung uang dalam bank terkait
denagn masalah bunga bank, sedangkan al-wadi’ah pada prinsipnya hanyalah merupakan akad tolong
menolong tanpa ada imbalan jasa. Disamping itu, uang yang dititipkan dibank,
biasanya digunakan oleh pihak bank sehingga dengan demikian ia mendapatkan
keuntungan. Keuntungan ini, biasanya dibagikan kepada para nasabah sesuai
dengan peraturan bank. Kemudian, biaya administrasi untuk barang dibank harus
dikeluarkan oleh pihak yang menitipkan uang atau barangnya, sebagai imbalan
jasa yang diberikan kepada bank. Disinilah letak variasi yang muncul dalam
perkembangan al-wadi’ah
sampai sekarang.
Jika barang titipan itu (umpamanya uang)
dimanfaatkan oleh pihak bank, kemudian dikembalikan lagi secara utuh, dan bahkan
dilebihkan sebagai imbalan jasa, menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya
boleh, sekalipun dalam pemanfaatan imbalan jasa dari bank ini disedekahkan pada
orang yang memerlukan atau bait
al-mal. Tetapi menurut ulama Syafi’iyah tidak boleh dan
akadnya dinyatakan gugur.
Adapun berkaitan dengan imbalan jasa yang
diterima oleh pemilik titipan berupa bungan dari pihak bank, terdapat perbedaan
di kalangan ulama. Jika barang titipan itu dimanfaatkan, kemudian mendapat
untung, sedangkan barang titipan itu tidak rusak, maka Imam Abu Hanifah
mengatakan keuntungan itu disedekahkan. Ibnu Juza al-Maliki, pakaer fiqh
Maliki, mengatakan bahwa keuntungan menjadi milik orang yang dititipi (dalam
kasus ini pihak bank), atau menjadi milik penitip uang. Akan tetapi, ulama
Malikiyah lainnya menyatakn keuntungan itu diserahkan ke baitul mal (perbendaharaan negara).
Sedangkan masalah yang menyangkut biaya
pemeliharaan barang (yang dalam bank diistilahkan sebagai biaya biaya
administrasi), merupakan tanggung jawab pemilik barang atau uang, karena pihak
yang dititipi hanya bertugas memelihara, sedangkan biaya pemeliharaan dibebankan
kepada pemilik barang.
GADAI (RAHN)
A.
Pengertian
Menurut bahasa, gadai (ar-rahn) berarti al-tsubut dan
al-habs yaitu penetapan dan penahanan atau secara arti kata ruhnu atau
rungguhan, agunan atau jaminan mengandung arti “tetap dan tertahan”.
Dalam arti istilah para ulama mengartikannya dengan menjadikan barang
berharga sebagai jaminan suatu utang dengan begitu agunan itu berkaitan erat
dengan utang piutang dan timbul dari padanya.
Maka orang yang memegang Rahn (marhum) dinamakan Murtahin. Orang yang
memberi rahn atau yang menggadaikan atau si madin, dinamakan rahin. Barang yang
dinamakan barang gadaian itu dinamakan Marhun bihi.
B.
Dasar Hukum Rahn
Hukum meminta agunan itu adalah mubah berdasarkan
petunjuk Allah dalam Al Qur’an dan
penjelasan dari Nabi. Adapun dalil Al Qur’an diantaranya surat Al baqoroh ayat 283 yang berbunyi :
Î)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (البقره
: 283)
Artinya : “Apabila
kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah
dengan rungguhan yang diterima ketika itu (Al Baqoroh : 283)
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibu Majab dari anas r.a. ia
berkata :
رَهَنَ رَسُو لُ الله ص م دِرْعًاعِنْدَ يَهُوْدِىْ بِلْمَدِ يْنَةِ
وَاَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًالاَِهْلِهِ
“Rosulullah saw merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di Madinah
ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”.
Dari hadist di atas dapat dipahami
bahwa agama islam tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan non muslim
dalam bidang muamalah, maka orang muslim tetap wajib membayar utangnya
sekalipun kepada non muslim
§
Alasan hukum bolehnya
muamalah dengan memberikan agunan itu adalah memberikan keringanan kepada
pelaku, muamalah dalam pergaulan hidup dan kepuasan hati baginya dalam
bermuamalah.
§
Unsur-unsur yang terlibat
dalam muamalah agunan itu antara lain :
- Orang yang berhutang dan menyerahkan barang berharga sebagai jaminan, disebut orang yang memberikan agunan atau rahn.
- Orang yang berpiutang dan menerima barang sebagai agunan disebut orang yang memegang agunan atau al marhun
- Barang yang diagunkan atau disebut al marhun.
C.
Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau
pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun antara lain :
1.
Akad Ijab dan Kabul
Contoh seseorang berkata “aku gadaikan tanahku ini dengan harga Rp.
10.000.000,00 dan yang satu lagi menjawab “Aku terima gadai tanahmu seharga Rp.
10.000.000,00” atau bisa pula dilakukan selain dengan kata-kata misal bisa
dengan surat,
isyarat atau lainnya.
2.
Aqid yaitu yang menggadaikan
(rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad
adalah ahli tasharuf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini
memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3.
Barang yang dijadikan jaminan
(borg) syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak
rusak sebelum janji utang harus dibayar.
4.
Ada utang disyaratkan keadaan utang telah
tetap.
Jadi syarat untuk dua pihak yang berakad ialah mempunyai kecakapan untuk
bertindak dalam muamalah yaitu dewasa dan berakal sehat dan berbuat atas
kehendak sendiri dan tidak berada di bawah pengampuan. Sedangkan syarat yang
berkenaan dengan barang agunan ialah dia barang yang bernilai milik sempurna
dari yang mengagunkan telah ada ditangannya dan dapat diserahkan pada waktu
akad yang kemudian dipegang oleh yang menerima agunan.
§ Rahn memiliki 4 unsur
diantaranya yaitu :
1. Rahin (orang yang
memberikan jaminan)
2. Al-murtahin (orang yang
menerima)
3. Al-marhun (jaminan)
4. Al-marhun bihi (utang)
§ Menurut ulama Hanafiyah
rukun rahn adalah ijab dan qobul dari rahin dan almurtahin sebagaimana pada
akad yang lain.
Akan tetapi akad dalam rahn tidak
akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
§ Adapun menurut ulama
selain Hanafiyah rukun rahn adalah aqid (orang yang akad), marhun dan marhun
bih
D.
Pengambilan Manfaat Barang
Gadaian (Rahn)
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang
digadaikan para ulama berbeda pendapat antara jumbur Fuqaha dan Ahmad.
§
Jumhur Fuqaha berpendapat
bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian
tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya karena hal ini termasuk kepada utang
yang dapat menarik manfaat sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba
§
Menurut Imam Ahmad, Ishak,
Al-laits dan Al-hasan berpendapat jika barang gadaian berupa kendaraan yang
dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya maka
penerima gadai dapat mengambil manfaatnya dari kedua benda gadai tersebut,
disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau
binatang ternak itu ada padanya.
Rosul bersabda :
اَلظَّهْرُيُرْ كِبُ أِذَاكَانَ مَرْهُوَ نًاوَلَبَنُ الذَّرَّيَشْرَبُ إِذَاكَانَ
مَرْهُوْناًوَعَلَى الَّذِىْ يَرْكَبُ
وَيَشْرَ بُ نَفَقَتُهُ (رواه
الجخارى)
“Binatang tunggangan boleh
ditunggani karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil
susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang
memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Jadi pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di
atas tekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang
memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai
berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus
memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang
dibolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian
yang ada pada dirinya.
E.
Risiko Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang penguasaan murtahin, maka murtahin
tidak wajib menggantinya. Kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena
kelalaian murtahin atau karena disial-siakan, umpanya murtahin bermain-main
dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu atau gudang tak dikunci, lalu
barang-barang itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara
sebagaimana layaknya bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan
apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun
menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun. Bila marhun itu
rusak atau hilang karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak. Demikian
pendapat ahmad Azhar Basyir.
Perbedaan dua pendapat tersebut ialah menurut Hanafi
Murtahin harus menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun yang
dipegangnya baik Marhun hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya.
Sedangkan menurut Syafi’iyah murtahin menanggung resiko kehilangan atau
kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan
murtahin.
F.
Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan,
dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai
diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu
yang telah ditentukan,” sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada
utang murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada
waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada
utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad
gadai, akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu
diperhatikan.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin
belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun,
pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga
yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin
hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun
lebih besar dari jumlahutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila
sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin
masih menanggung pembayaran kekurangannya.
Nama : Septi Aditia Kurniawati
BalasHapusKelas : Q (NR)
Nim : 2021314405
30 mei 2015
وَعَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا أَتَتْكَ رُسُلِي فَأَعْطِهِمْ ثَلَاثِينَ دِرْعاً , قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَعَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ أَوْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ? قَالَ: بَلْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
BalasHapusArtinya:
Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.