Minggu, 21 Desember 2014

Macam-macam Transaksi Berbasis Kepercayaan dalam Mu'amalah

Sumbangan Islam terhadap pemikiran dan praktek ekonomi terutama dalam hal mu'amalah berbasis kepercayaan merupakan bukti bahwa Islam adalah agama rohmatan lil'alamin. Agama yang memberikan kesejahteraan baik bagi pengikutnya maupun yang belum mau menjadi pengikutnya, ataupun terhadap mereka yang belum sepenuhnya menjadi pengikutnya yang setia. diantara transaksi mu'amalah yang berbasis kepercayaan adalah sebagai berikut:


PINJAMAN ('ARIYAH)
a.      Pengertian Al 'Ariyah
       Pinjaman atau 'ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, 'ariyah ada beberapa pendapat :
1.      Menurut Hanafiyah, 'ariyah ialah :
تَمْلِيْكُ الْمَنَا فِعِ مَجَا نًا
“Memilikkan manfaat secara cuma-cuma”.[1]
2.      Menurut Malikiyah, 'ariyah ialah :
تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مُؤَ قَّتَةٍ لاَبِعَوْ ضٍ
“Memilikkan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”.[2]
3.      Menurut Syafi'iyah, 'ariyah ialah :
إبَاحَةُ اْلاِنْتِفَاعِ مِنْ شِخْصٍ فِيْهِ أهْلِيَةٍ التَّبَرُّعِ بِمَايَحِنُ اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ لِيَرُدَّهُ عَلَى الْمُتَبَرُّعِ
“Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”[3]

 
4.      Menurut Hanabilah, 'ariyah ialah :
إبَاحَةُ نَفْعِ الْعَيْنِ بِغَيْرِ عَوْضٍ مِنَ اْلمُسْتَعِرِ أوْ غَيْرِهِ
“Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”[4]
5.      Ibnu Rif'ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan 'ariyah ialah :
إبَاحَةُ اْلاِنْتِفَاعِ بِمَايَحِلُّ اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاِء عَيْنِهِ لِيَرُدَّه
“Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.”[5]
6.      Menurut al-Mawardi, yang dimaksud dengan 'ariyah ialah :
هِبَةُ اْلمَنَافِعِ
“Memberikan manfaat-manfaat.”[6]
7.      'Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa ganti.[7]
       Dengan dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli di atas, kiranya dapat dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, namun materi permasalah-annya dari definisi tentang 'ariyah tersebut sama. Jadi, yang dimaksud dengan 'ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut 'ariyah.

b.      Dasar Hukum 'Ariyah
       Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong ('ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa 'ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alqur'an ialah :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلبِرِّ وَالتَّقْوَاى وَلَاتَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan (Al-Maidah:2)
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمَاناَتِ اِلىَ اَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (Al-Nisa :58)
       Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari Alqur'an, landasan hukum yang kedua ialah Al-Hadis, Dalam landasan ini, 'ariyah dinyatakan sebagai berikut:
أَدِّالْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَاتَخُنْ خَانَكَ
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud).
اَلْعَارِيَةَ مُؤَذَاةٌ
“Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud).
لَيْسَ عَلىَ الْمُسْتَعِرِ غَيْرِ اْلمُغِلِّ ضَمَانٌ وَلَااْلمُسْتَوْدِعِ غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian” (Riwayat Daruquthni).
مَنْ اَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا اَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ اَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا اَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah akan membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya” (Riwayat Bukhari).
مُطِلُّ اْلغَنِىِّ ظُلْمٌ
“Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

c.       Rukun dan Syarat  'Ariyah
       Menurut Hanafiyah, rukun 'ariyah adalah satu, yaitu ijab kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.[8]

Menurut Syafi'iyah, rukun 'ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata.”Saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2.      Mu'ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta'ir yaitu orang menerima utang. Syarat bagi mu'ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu'ir dan musta'ir adalah :
l  baligh, maka batal 'ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy;
l  berakal, maka batal 'ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
l  orang tersebut tidak dimahjur (di bawah curatelle), maka tidak sah 'ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3.      Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu :
l  Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah 'ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi;
l  Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal 'ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara', seperti meminjam benda-benda najis.

d.      Hukum Asal
Meminjamkan sesuatu barang pada awalnya adalah sunnah seperti tolong-menolong yang lain. Dan kadang-kadang bisa berubah menjadi wajib, seperti meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga terkadang menjadi harom kalau yang dipinjam itu akan berguna untuk sesuatu yang harom.
Kaidah menyatakan jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan hukum yang di tuju.

e.       States dan Sifat Aqadnya
Peminjam harus bertanggungjawab atas keutuhan dan keselamatan barang yang di pinjam sampai barang itu di kembalikan kepada pemiliknya. Kalau untuk keperluan mengembalikan barang yang di pinjam memerlukan ongkos, maka ongkos itu menjadi tanggung jawab orang yang meminjam.
Dalam hadist disebutkan :
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى يُؤَدِيَهُ
(رواه الخمسة الا النسائ)
Artinya :
Dari Sumurah, Nabi SAW, berkata, tanggung jawab orang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu (Riwayat Lima orang ahli hadist selain Nasai)

Dalam pinjam meminjam, sewaktu-waktu yang meminjam dan orang yang meminjamkan dapat mengambil / meminta dikembalikan pinjaman kecuali jika benda yang di pinjamkan itu berupa tanah untuk kuburan.
Peminjam tanah untuk kuburan tidak boleh diminta kembali sebelum hilang bekas-bekas mayat. Demikian juga pinjaman tanah untuk menanam tanaman tertentu, tidak boleh diminta kembali sebelum tanaman di petik hasilnya. Kedua belah pihak memutuskan akad asal tidak merugikan pihak lain.Akad 'ariyah juga putus jika salah satu pihak ada yang gila.
Apabila orang yang meminjam meninggal dunia, wajib atas ahli warisnya mengembalikan barang pinjaman, dan tidak halal bagi mereka memakainya. Kalau mereka pakai juga, mereka wajib membayar sewanya. Jika pemutusan akad 'ariyah sudah diketahui oleh peminjam maka peminjam tidak boleh memakai barang yang di pinjamnya.

f.       Kelonggaran pada 'Ariyah -'ariyah dari pada penjual pohon dan buah-buahnya
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتُ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِى الْعَرَيَا اَنْ تُبَاعَ بِحَرَّصِهَا كَيْلًا (متفق عليه) وَالِمُسْلِمٍ: رَخَّصَ فِى اْلعَرِيَّةِ يَأْخُذُهَا اَهْلُ الْبَيْتِ بِخَرَّصِهَا التَّمْرِا يَأْكُلُوْنَهَا رِطَبًا
artinya:
Dari Zaid bin Tsabit, bahwa RosululLoh SAW beri kelonggaran pada 'ariyah-'ariyah buat di jual buahnya dengan di taksir sukatanya. (Muttafaq'alaih).
Dan bagi muslim, ia beri kelonggaran pada 'ariyah buat di beli oleh ahli rumah itu dengan di taksir dan di bayar dengan kurma kering supaya mereka bisa makan kurma basah.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِى بَـيْعٍ العَرَايَا بَخَرْصِهَا مِنَ التَّمْرِ فِيْهَا دُوْنَ خَمْسَةِ اَوْ سُقٍ اَوْ فِي خَمْسَةِ اَوْ سُقٍ (متفق عليه)
Artinya :
Dari Abi Hurairah, bahwasannya RosululLoh telah beri kelonggaran pada menjual (buah-buah) dari 'ariyah dengan taksir banyaknya dengan tamar kering pada batas bawah lima wasaq (atau pada lima wasaq).
Keterangan :
1.      'Ariyah itu artinya yang ashal adalah sesuatu yang dipinjamkan. Yang dimaksudkan di sini ialah pohon yang dipinjam oleh seseorang. A” kepada seorang B” buat B” ambil buahnya disatu musim. Jika banyak disebut 'ariyah.
2.      Buah-buah kurma yang belum kering di pohon pohon 'ariyah itu RosululLoh SAW. Idzinkan B” menjualnya kepada ahli rumah yang meminjamkan pohon-pohon itu dengan ditaksir banyaknya sekian wasaq buat dibayar dengan kurma yang sudah kering supaya tuan rumah yang meminjamkan itu dapat makan akan buah kurma basah.
3.      Batas yang dibolehkan RosululLoh SAW menjual buah-buah dari pohon 'ariyah ialah banyaknya lima wasaq. Jadi yang selebihnya tidak boleh di jual yang basah dengan yang kering.
عَنْ ابْنُ عَمَر قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَـيْع الثِّمَارِ حَـتَّى يَـبْوَ وَصَلَاحُهَا، نَهَى الْبَايِعَ وَاْلمَبْتَاعَ (متفق عليه) وَفِى رِوَايَةِ: وَكَانَ اِذَا سُئِلَ عَنْ صَلَحِهَا قَالَ: حَـتَّى تَدْهَبَ عَاهُتَمَا
Artinya :
Dari Ibnu Umar, ia berkata RosululLoh SAW telah larang menjual buah-buahan sebelum nyata jadinya ia larang penjual dan pembeli (Muttafaq'alaih).
Dan pada satu riwayat , Dan ia apabila ditanya tentang (masna) nyata jadinya, ia bersabda hingga bahayanya:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَلِكِ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَـْيعَ الثَّمَارِ حَتَّى تُزَهِيَ، قِيْلَ: وَمَا زَهُوهَا، قاَلَ: تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ (متفق عليه و الفظ للبخارى)
Dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi SAW larang buah-buah hingga sempurna. Ada orang yang bertanya: Apa (tanda) sempurnanya ? Sabdanya, ia jadi merah, jadi kuning (Muttafaq'alaih, tetap lafaz itu bagi Bukhari)

وَعَنْهُ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَـْيعِ الْعِتَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ، وَعَنْ بَـْيعِ الْحَبَّ حَتَّى يَسْتَدَّ (رواه الخمسة الا النسائ وصحّحه ابن حبان والحاكم)
Artinya :
Dan dari padanya, bahwasannya Nabi SAW larang menjual anggur hingga hitam dan (larang) jual biji-bijian hingga keras. Di riwayatkan dia oleh lima kecuali Nasai dan disyahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ قاَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ بِعْتَ مِنْ اَخِيْكَ تَمَرًا فَأَصَابَتَهُ جَائِحَةُ فَلَا يَحِلُّ لَكَ اَنْ تَأْخُدُ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُدُ مَالَ اُخِيْكَ بِغَيْرِ حَقِّ (رواه المسلم)
Artinya :
Dan dari Jabir bin Abdullah Ia berkata : telah bersabda RosululLoh SAW, Jika engkau jual kepada saudaramu buah lalu mengenai dia bahaya, maka tidak boleh engkau ambil daripada nya sesuatu. Dengan (jalan) apa boleh engkau ambil harta saudaramu dengan tidak haq. Di riwayatkan dia oleh Muslim.
وفى رواية له: اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَمَرَ بِوَضَعِ الْجَوَائُحُ
Dan pada satu riwayat baginya. Bahwasannya Nabi SAW perintah mengurangkan (harga lantaran) bahaya-bahaya.

Keterangan :
1.      Dibolehkan seorang jual buah setelah nyata jadinya setelah kalau ada bahaya penyakit mengenai buah-buah itu mestinya atas tanggungan pembeli. Tetapi hadist ini menanggungkan atas penjual. Yang demikian ini bisa jadi lantaran penjual belum tegaskan bahwa ia sudah berlepas diri dari pada menanggung kerugian-kerugian yang akan terjadi atas buah-buah itu dengan sebab kecurian, kebanjiran. Penyakit dan lain-lainnya.
2.      Harga buah-buahan yang kena bahaya penyakit atau lainnya RosululLohSAW, perintah supaya di kurangi, yaitu di kurangi menurut banyak sedikitnya kerusakan.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ: مَنِ ابْتَاعَ تَحْلًا بَعْدَ اَنْ تُـؤَبَّرَ فَسَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ الَّذِى يَاعَهَا اِلَّا اَنْ يَسْتَرِهَا الْمُبْتَاعُ (متفق عليه)
Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bahwasannya ia bersabda : Barang siapa beli pohon kurma sesudah dikawinkan, maka buahnya itu (adalah) haq penjual yang menjualnya kecuali disyaratkan pembeli. (Muttafaq'alaih)
Keterangan :
1.      Kurma itu tidak jadi buahnya atau tidak baik jadinya kalau tidak dikawinkan.
2.      Cara mengkawinkannya itu ialah dengan menarik mayang pohon betina lalu ditaburkan padanya benih yang diambil mayang pohon jantan.


[1]    Lihat, abd al-Rahman al-Jaziri, dalam; al-Fiqh 'Ala Madzahib al-Arha'ah,ttptp Th. 1969 hlm 270.
[2]    Ibid
[3]    Ibid, hlm.271
[4]    Ibid.
[5]    Lihat, Abi Bakr Ibn Muhammad Taqiy al-Din, dalam; Kifayah ahyar, Alma'arif Bandung. Tth hlm. 291.
[6]    Ibid.
[7]    Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 1977 hlm.67.
[8]    Abd Al-Rahman Al-Jaziri, op.cit.hlm.272.


HIWALAH                                                                                                   ( الحوالة )

Pengertian Hiwalah
Hiwalah (ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ) berarti pengalihan, pemindahan, berubah kulit dan memikul sesuatu diatas pundak.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran maupun tidak.
Ulama mazhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan Hiwalah ialah pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhiil =ﺍﻟﻣﺤﻴﻞ ) kepada yangberhutang lainnya ( muhaal ‘alaih=   ﺍﻟﻣﺤﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ )
Ulama mazhab Hanafi lainnya (Kamal bin Humman) mendefinisikanya dengan : ”Pengalihan kewajiban membayarkan hutang dari pihak pertama kepada pihak lainya yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai”.

Dasar Hukum Hiwalah
Pelaksanaan Al-Hiwalah dibenarkan dalam islam. Sebagaimana sabda Rosulullah saw:                                                                                                                                                        ﻣﻄﻝﺍﻠﻐﻧﻰ ظﻠﻡ ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺗﺒﻊﻋﻠﻰﻣﻠﻰﺀﻓﺎﻠيتبع  (ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺠﻣﻪﻋﺔ   
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jamaah). Sabda Rosulullah saw:
ﻣﻄﻝ ﺍﻠﻐﻨﻰظﻠﻡ ﻔﺈﺫﺍ ﺃﺣﻴﻝ ﺃﺣدﻛﻡﻋﻀﻰﻣﻠﻰﺀ ﻓﻠﻴﺣتل (ﺭﻭﺍﻩﺃﺣﻣﺩﻭﺍﻠﺑﻴﻬﻘﻰ)  
“Orang yang  mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”.(HR Ahmad dan Baihaqi)
Jenis Hiwalah
Mazhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian, ditinjau dari segi objek aqad maka hiwalah dapat dibagi dua:
1.   Apabila dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang,maka pemindahan   itu disebut hiwalah Al haqq(ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﺤﻕ)atau pemindahan hak.
2. Apabila dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka  pemindahan itu disebut hiwalah Al-Dain (ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﺩﻴﻦ) atau pemindahan hutang

Ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi dua pula yaitu:
1.  Pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut hiwalah al-muqayyadah  ( ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﻣﻘﻴﺩﺓ ) atau pemindahan bersyarat
         2.  Pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran  hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut hiwalah al- muthadah (  حوالة المطدة  ) atau pemindahan mutlak.


Rukun Hiwalah
  Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
  1. Pihak pertama
  2. Pihak kedua
  3. Pihak ketiga
  4. Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua
  5. Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
  6. Ada sighoh (pernyataan hiwalah)
            Syarat Hiwalah
Semua imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa hiwalah menjadi syah apabila sudah terpenuhi Syarat-syaratnya yang berkaitan dengan pihak pertama, kedua, dan ketiga serta yang berkaitan hutang itu.

Syarat bagi pihak pertama
                  Cukup dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad yaitu baligh dan berakal hiwalah tidak syah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti   (mumayyiz)
      Ada persetujuan jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka aqad tersebut tidak syah.

                                          Syarat kepada pihak kedua
                  Cukup melakukan tindakan hukum yaitu balig dan berakal
Disyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah (mazhab Hanafi sebagian besar mazhab Maliki dan Syafi’i)

                                          Syarat bagi pihak ketiga
                  Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagai syarat bagi pihak pertama dan kedua.
      Disyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak ketiga(mazhab Hanafi) sedangkan mazhab lainya  (Maliki, Syafi’i dan Hambali) tidak mensyaratkan hal ini, sebab dalam aqad hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai objek aqad
                  Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani menambahkan bahwa kabul tersebut dilakukan dengan sempurna oleh  pihak ketiga di dalam suatu majelis aqad.

                                          Syarat yang dilakukan terhadap hutang yang dialihkan.
                  Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti
      Apabila mengalihkan hutang itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadah semua ulama fiqih menyatakan bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua maupun hutang kepada pihak ketiga kepada pihak pertama meski sama jumlah dan kwalitasnya.
Mazhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut mesti sama pula,  waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka tidak sah

            Akibat Hukum
Jika aqad hiwalah  telah terjadi maka akibatnya:
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua dengan sendirinya menjadi terlepas
         Aqad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga
          Mazhab Hanafi yang membenarkan terjadi hiwalah al-muthallaqoh ( حوالة المطلقة ) berpendapat bahwa jika aqad hiwalah al-muthallaqoh terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad hutang piutang sebelumnya, masih tetap berlaku. Khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama.
            Akad hiwalah berakhir
Akad hiwalah berahkir jika terjadi hal-hal berikut:
Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad, sebelum akad itu berlaku secara tetap.
      Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan kepada pihak kedua.
      Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
      Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada pihak ketiga
      Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibanya untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.
Menurut mazhab Hanafi, hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi kerena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau meninggal dunia dalam keadaan pailit.
Persyaratan-persyaratan yang  telah disepakati bersama harus dipatuhi oleh semua pihak.                                                    
 Sebagaimana sabda Rosulullah saw:   
                                                                                                                       (ﺍﻠﻣﺴﻠﻣﻭﻦﻋﻠﻰﺷﺭﻭﻂﻬﻡ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺘﺭﻣﻴﺫﻯﻭﺍﻠﺣﺎﻜﻡ

“Umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan (bersama) ”(HR Tirmizi dan Al Hakim)
Sekiranya ada pihak yang diragukan dalam melaksanakan akad hiwalah itu. Maka ia dapat mengadakan gugatan yang sudah barang tentu bukti yang kuat dengan dapat dipertanggung jawabkan.
Sabda Rosulullah saw:

ﺍﻠﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰﺍﻠﻣﺩﻋﻰ ﻭﺍﻠﻴﻣﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻑ ﺍﻠﺣﺭ(ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺒﺨﺭﻯﻭﺍﻠﺗﺭﻣﻴﺫﻯﻭﺍﺒﻦﻣﺎﺟﻪ )

“Penggugat wajib mengajukan alat bukti sedangkan tergugat menyatakan sumpah”(HR Bukhori, Tirmuzi, dan Ibnu Majah).


AL IJARAH


I.            
بَيْعُ الْمَنْفَقَةِ

 
Pengertian
Menurut etimologi, ijarah adalah                 (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama’ fiqih:
a.       Ulama’ Hanafiyah
عَقْدٌ عَلَى الْمَنَافِعِ بِعَوْضِ
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.      Ulama Asy-syafi’iyah
عَقْدُ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلاِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ.
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيْئٍ مُبَاحَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya:
Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
            Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
            Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.
            Menanggapi pendapat di atas, Wahbah Al-Juhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama fiqih adalah asal fasid(rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-Quran, As-sunah, ijma’ maupu qiyas yang shahih.

II.          Landasan Hukum
      Hampir semua ulama’ fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, alasannya bahwa ijarah jual beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang(tidak ada). Suatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli.
               Dalam menjawab ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).
               Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah, dan ijma’.
               Umat islam pda masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
·         Hukum Ijarah
-          Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
-          Hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan peranjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.

III.       Rukun, Syarat Ijarah
a.      Rukun Ijarah
         Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
               Adapun menurut jumhur Ulama’, rukun ijarah ada 4(empat), yaitu:
1.      ‘Aqid (orang yang akad)
2.      Shighat aqad
3.      Ujrah (upah)
4.      Manfaat
b.      Syarat Ijarah
            Syarat ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
1.      Syarat Terjadinya Akad
Syarat in’inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
2.   Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliyah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.        Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqaid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:
a.   Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad
b.   Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
1.      Penjelasan manfaat
2.      Penjelasan waktu
3.      Sewa bulanan
4.      Penjelasan jenis pekerjaan
5.      Penjelasan waktu kerja.
c.       Ma’qud ‘Alaih barang harus dapat memenuhi secara syara’
d.      Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
e.       Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
f.       Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa.
g.      Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai denagn keadaan yang umum.
4.      Syarat Barang Sewaan (Ma’qud ‘alaih)
Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai. Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. Yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam ual-beli.
5.      Syarat Ujrah (upah)
Para Ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
1.      berupa harta tetap yang dapat diketahui
2.      Tdak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati denagn menempati rumah tersebut.
6.      Syarat yang Kembali pada Rukun Akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.
7.      Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut:
1.      Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat.
2.      Tidak ada unsur yang dapat membatalkan akad
       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya unsur sebab kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur yang dimaksud adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan kemadharatan bagi yang akad. Uzur dikategorikan menjadi tiga macam:
a.       Uzur dari pihak penyewa
b.      Uzur dari pihak yang disewa
c.       Uzur pada barang yang disewa

IV.       Sifat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah SWT: ( ayat ), yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada aslnya, bukan didasarkan pada pemenuhan akad.
Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya pada ayat Al-Quran diatas.
Berdasarkan dua pandangan diatas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli warisnya.

V.          Macam-Macam Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
1.      Hukum Sewa Menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
2.      Hukum Upah-Mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangunkan rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu:
a.   Ijarah Khusus
         yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
b.      Ijarah Musytarik
         Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.

Tanggung Jawab yang Disewa (Ajir) dan Gugurnya Upah
a.       Ajir khusus
Ajir khusus, sebagaimana dijelaskan diatas adalah orang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu rumah tangga. Jika ada barang yang rusak, ia tidak bertanggung jawab untuk menggantinya.
b.      Ajir Musytarik
Ajir Musytarik, seperti para pekerja dipabrik, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan tanggung jawab mereka.
1.      Ulama Hanafiyah, Jafar, Hasan ibn Jiyad, dan Imam Syafi’i.
Pendapat yang paling shahih adalah mereka tidak bertanggung jawab atas kerusakan sebab kerusakan itu bukan disebabkan oleh mereka, kecuali bila disebabkan oleh permusuhan,
2.      Imam Ahmad dan dua sahabat Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa ajir bertanggung jawab atas kerusakan jika kerusakan disebabkan oleh mereka walaupun tidak sengaja, kecuali jika disebabkan oleh hal-hal yang umum terjadi.
3.      Menurut ulama Malikiyah
Pekerja bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkannya walaupun tidak sengaja atau karena kelalaiannya.
¥   Perubahan dari Amanah Menjadi Tanggung Jawab
            Sesuatu yang ada ditangan ajir, misalnya kain pada seorang penjahit, menurut ulama Hanafiyah dianggap sebagai amanah. Akan tetapi, amanah tersebut akan berubah menjadi tanggung jawab bila dalam keadaan berikut:
a.   tidak menjaganya
b.   dirusak dengan sengaja
Dalam ajir musytarak, apabila murid ajir ikut membantu, pengajarnyalah yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
c.   menyalahi pesanan penyewa.
¥   Gugurnya Upah
            Para ulama berbeda peendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila barang yang ditangannya rusak.
            Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada ditangannya, ia tidak mendapat upah. Pendapat tersebut senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
            Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat diatas. Hanya saja diuraikan lagi:
a.   Jika benda ada ditangan ajir
1.   Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapat upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.
2.   Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.
b.   Jika benda berada ditangan penyewa
                  Pekerja berhak mendapat upah setelah selesai bekerja.
¥   Pengekangan Barang
            Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekang barang yang telah ia kerjakan, sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggung jawab.



VI.       Akhir Ijarah
Sebenarnya, tentang penghabisan ijarah telah disinggung pada pembahasan terdahulu. Namun demikian, akan dijelaskan kembali|:
1.      Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.
2.      Pembatalan akad.
3.      Terjadi kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti.
4.      Habis waktu, kecuali kalau ada uzur


 


LUQOTOH BARANG TEMUAN)
A.    Pengertian
Luqothoh menurut bahasa artinya : barang temuan.[1]
Al-Luqothoh ialah barang yang didapat dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorang pun.[2] Mengenai pendapat Para ulama tentang definisi luqothoh, misalnya Ulama Hanfiyah, mengatakan:
مال يوجد ولا يعرف مالكه وليس بمباح كمال الحربي
Harta yang ditemukan seseorang, tidak diketahui pemiliknya dan harta itu tidak termasuk harta yang boleh dimiliki (almubah), seperti harta milik kafir harbi (kafir yang memusuhi umat Islam)[3]
Ulama Hanbali mendefinisikan luqothoh sebagai berikut:
المال الضائع من ربّه يلتقطه غيره
 Harta seseorang yang hilang di jalanan, dan ditemukan oleh orang lain.
B.     Hukum mengambil barang temuan[4]
  1. Sunnah, bagi orang yang percaya pada dirinya, sanggup mengerjakan segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan kepada barang itu sebagaimana mestinya.
  2. Wajib, apabila kemungkinan besar barang itu akan hilang tersia-sia kalau tidak diambilnya
  3. Makruh, bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya, boleh jadi barang itu akan khianat terhadap barang itu dikemudian hari

C.    Status Barang di tangan penemunya
Orang yang menemukan berkewajiban memelihara barang temuan seperti memelihara barangnya sendiri. Dalam hal ini tidak ada bedanya; untuk barang yang remeh atau penting.
Barang tersebut berada padanya sebagai barang wadi’ah (titipan). Ia tidak berkewajiban menjamin jika terjadi kecelakaan, kecuali dengan sengaja.[5]
Wadi’ah artinya sesuatu yang dititipkan oleh pemiliknya kepada orang lain.
فليؤد ال1ى اؤتمن امانته ... (البقرة : 283)
“Maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya”
Wadi’ah yang rusak akibat kelalaian orang yang diserahi, wajib menggantinya. Tetapi jika bukan karena kelalaiannya, maka tidak wajib ganti.
Kelalaian tersebut ada 9 macam:
1.      Orang yang diserahi menyerahkannya kepada orang lain
2.      wadi’ah dibawa pergi
3.      memindahkan ke tempat lain sehingga sukar memeliharanya
4.      Dikala sakit tidak berwasiat
5.      Mengambil manfaat
6.      Menyelisihi ketentuan pemeliharaan
7.      meninyia-nyiakan
8.      berkhianat; ketika diminta oleh pemiliknya tidak diberikan
9.      lengah dalam memelihara[6]

D.    Macam-macam barang temuan
Macam-macam barang temuan ada empat yaitu
1.      Benda yang nilainya tetap, seperti: emas, perak, uang dan lain-lain, maka diumumkan selama satu tahun.
2.      Benda yang nilainya tidak tetap, bahkan cepat rusak dan barang kecil, seperti makanan, maka boleh antara dimakan atau dijual yang harganya disimpan.
Dari anas, bahwa Nabi Muhammad Saw pernah menemukan buah-buahan di tengah jalan, beliau kemudian bersabda:
لولا اني اخاف ان تكون من الصدقة لاكلتها. (رواه البخارى ومسلم)
“Kalaulah aku tidak takut bahwa buah itu barang sedekah (zakat), niscaya aku akan memakannya”
رخص لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في العصا والسوط والحبل واصباهه يلتقطه الرجل ينتفعبه. (اخرجه احمد واو داود)
“Rosulullah memberikan keringanan (rukhshah) kepada kami yaitu: tongkat, cambuk, tambang dan sejenisnya yang ditemukan seseorang, ia boleh memanfaatkannya”
3.      Benda yang nilainya tetap apabila dipelihara, seperti padi yang masih berkulit dll, harus diperhatikan kemaslahatannya. Apabila lebih baik dijual maka harus dijual dan harganya diumumkan dan apabila lebih baik disimpan, maka harus disimpan dan diumumkan.
4.      Benda yang memerlukan nafkah seperti
a.       Binatang.
Ada binatang kecil dan ada binatang besar. Binatang kecil lebih baik dipungut. Sedang binatang besar, dibiarkan sampai bertemu pemiliknya, sebab bisa menyelamatkan diri. Tetapi apabila di tempat yang tidak bisa hidup, seperti dalam bangunan, lebih baik dipungut.[7]
b.      Anak.
Apabila ada anak terlantar di jalan, tidak berayah, tidak bersaudara, lebih baik dipungut untuk dipelihara dan dididik.
Firman Allah Swt:
تعاونو على البر والتقوى (المائده )
“Bertolong-tolonglah dalam kebijakan dan taqwa”
Seorang anak mempunyai kehormatan (harrga diri), maka harus dipelihara dan dididik serta diperbaiki keadaannya.
Orang yang memungut harus memenuhi 4 syarat, yaitu:
a.       Sanggup menganggung beban
b.      Islam. Orang kafir tidak berhak memungut orang Islam.
c.       Adil. Orang yang fasiq tidak bisa mendidik.
d.      Pandai membelanjakan harta. Orang yang pemboros tidak bisa memelihara anak dengan baik.
Apaila anak yang dipungut mempunyai harta, pemerintah bisa menggunakan untuk pemeliharaannya. Apabila tidak, bisa dipelihara dengan harta sosial.


E.     Pengumuman Barang Temuan
Wajib hukumnya bagi orang yang menemukan barang temuan untuk mengamati tanda-tanda yang memberdakannya dengan barang yang lainnya, baik itu berbentuk tempatnya, atau ikatannya, demikian pula yang berhubungan dengan jenis ukurannya.[8]
Apabila seseorang mengambil barang temuan, maka wajib atasnya segera mengumumkan 6 hal, yaitu tempatnya, sampulnya, talinya, jenisnya, bilangannya, dan timbangannya. Berdasarkan hadits:[9]
ان النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن لقطة الذهب والورق, فقال: وكاءها وعفاصهل, ثم عرفها ستة, فان لم تعرفها فاستبقها, ولتكن عندك وديعة, فان جاء طلبها يوما من الدهر, فادها اليه (رواه الشيخان)
”Bahwasanya Nabi SAW, ditanya tentang temuan mas dan perak, lalu bersabda: Umumkanlah temapt dan sampulnya, kemudian umumkanlah selama satu tahun. Jika tidak kamu umumkan, maka simpanlah dan anggaplah barang titipan di tempatmu. Jika suatu hari datang, maka berikanlah kepadanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Penemu berkewajiban mengumumkannya kepada masyarakat dengan cara di padar dan di tempat-tempat lain yang diduga kuat pemiliknya ada di tempat itu.
Jika pemiliknya datang dan ia menyebutkan tanda-tanda dan ciri-ciri barang temuan tersebut dengan sempurna, maka si penemu dibolehkan menyerahkannya kepada orang tersebut, sekalipun tidak ada bukti nyata.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan ileh Bukhori dan Tirmidzi dari Suwaid bin Ghaflah yang berkata:[10]
Aku bertemu Aus Bin Ka’ab, ia berkata: Aku pernah mendapati sebuah bungkusan berisi seratus dinar. Kemudian aku temui Rosulullah Saw, lalu beliau bersabda:
عرفها حولا, فعرفتها فلم اجد, ثم اتيته ثلاثا فقال: احفظ وعاءها ووكاءها فان جاء صاحبها والا فاستمتع بها.
“Perkenankalkanlah selama satu tahun”, kemudian aku memperkenalkannya dan tidak ada yang mengaku. Lalu aku datangi beliau lagi sebanyak tiga kali, kemudian beliau bersabda: ”Simpanlah tempatnya dan bungkusnya kalau-kalau nanti datang pemiliknya, jika tidak manfaatkanlah”
Jika seseorang yang mengambil telah mengumumkan barang temuannya selama satu tahun di tempat umum, maka ia boleh memiliki barang tersebut atas dasar tanggungan artinya jika pemiliknya datang ia harus mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya.
Menurut An Nawawi dalam mengumumkan tidak usah disebutkan semua sifatnya, agar tidak ditipu oleh pendusta.
Perlu juga diketahui dalam masa setahun itu tidak harus diumumkan setiap hari, tetapi cukup misalnya awalnya sehari tiga kali, kemudian setiap hari sekali, setiap minggu sekalai dan sebulan sekali.[11]


Daftar Pustaka

Rifa’I, Moh dkk. 1978. Terjemah Khulashoh Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra

Rasjid, Sulaiman. 1976. Fiqh Islam. Jakarta: At Tahiriyah

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 13. Bandung: PT. Alma’arif


[1] Moh Rifa’I,dkk, Terjemah Khulashoh Kifayatul Akhyar, Semarang: CV. Toha Putra, 1978, hlm. 236
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: At Tahiriyah, 1976, hlm. 316
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa nihayah al muqtashid, jilid II, hlm. 299
[4] Ibid
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Bandung: PT. Alma’arif, 1987, hlm.90
[6] Moh Rifa’I, dkk, Op.cit,… hlm. 241
[7] Muh. Rifa’I,dkk, Opcit, hlm. 239
[8] Sayyid Sabiq, Opcit, hlm. 90
[9] Muh. Rifa’I, dkk, Opcit, hlm. 236
[10] Sayyid Sabiq, Opcit, hlm. 90
[11] Muh. Rifa’I, dkk, Opcit, hlm. 239



AL-WADI’AH (BARANG TITIPAN)


I.          Pengertian
         Secara etimologi, kata al-wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara terminologi, ada dua definisi al-wadi’ah yang dikemukakan pakar fiqh.
         Pertama, definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah. Menurut mereka, al-wadi’ah adalah:57
تَسْلِيْطُ الْغَيْرِ عَلَى حِفْظِ مَالِهِ صِرِيْحًا اَوْدَلاَلَةً
Artinya:
Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.

         Kedua, definisi yang dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabiyah (jumhur ulama). Menurut mereka, al-wadi’ah adalah:58
تَوْكِيْلُ فِى حْفِظٍ مَمْلُوْكٍ عَلَى وَجْهِ مْخْصُوْصٍ
Artinya:
Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu denagn cara tertentu.

II.       Dasar Hukum
           Sebagai salah satu akad yang bertujuan untuk saling membantu antara sesama manusia, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa al-wadi’ah disyariatkan dan hukum menerimanya adalah sunnah. Alasannya adalah firman Allah dalam surat an-Nisa, 4:58 yang berbunyi:

Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...”

Ayat ini, menurut para mufasir, berkaitan dengan penitipan kunci ka’bah sebagai amanah Allah pada Utsman ibn Thalhah, seorang sahabat Nabi SAW.
Dalam surat al-Baqarah 2:283 Allah berfirman:

Artinya:
..hendaknya yang dipercayai itu menunaikan amanah...”

Sedangkan landasan hukum al-wadi’ah yang lain adalah sabda Rasulullah SAW:
اَدِّ اْلاَمَانَةَ اِلىَ مَنْ اِئِتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ (رواه ابو داود والترمذى والحاكم)
Artinya:
Serahkanlah amanah orang yang mempercayai engkau, dan jangan kamu menghianati orang yang menghianati kamu. (HR. Abu Daud, at-Tirmizi dan al-Hakim)
           Berdasarkan ayat dan hadits ini, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad al-wadi’ah (titipan) hukumnya boleh dan disunatkan, dalam rangka saling tolong menolong antara sesama manusia. Oleh sebab itu, ibn Qudamah (541-620H/1147-1223M), pakar fiqh Hanbali, menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW. sampai generasi-generasiberikutnya, akad al-wadi’ah telah menjadi ijma’’amali (konsensus dalam praktik) bagi umat Islam dan tidak ada seorang ulama fiqh pun yang mengingkarinya.
III.    Rukun al-Wadi’ah
           Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun al-wadi’ah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik, seperti “saya titipkan sepeda ini pada engkau), dan qabul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi, seperti “saya terima titipan sepeda anda ini).
Akan tetapi, jumhur ulama fiqh mengatakan bahwa rukun al-wadi’ah ada tiga, yaitu:
(a)       Orang yang berakad
(b)      Barang titipan
(c)       Shighat ijab dan qabul
Baik secara lafal atau melalui tindakan. Rukun prtama dan kedua yang dikemukakan jumhur ulama ini, menurut ulama Hanafiyah termasuk syarat, bukan rukun.

IV.    Syarat-syarat al-Wadi’ah
           Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa yang menjadi syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad adalah orang yang harus berakal. Apabila anak kecil yang telah berakal dan diizinkan oleh walinya untuk melakukan transaksi al-wadi’ah, maka hukumnya sah. Mereka tidak mensyaratkan balig dalam persoalan al-wadi’ah. Akan tetapi, anak kecil yang belum berakal, atau orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukumnya, seperti orang gila, tidak sah melakukan al-wadi’ah.
           Sedangkan menurut jumhur ulama, pihak-pihak yang melakukan transaksi al-wadi’ah disyaratkan telah balig, berakal, dan cerdas, karena akad al-wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil, sekalipun telah berakal tidak dibenarkan melakukan transaksi al-wadi’ah, baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun sebagai orang yang menerima titipan barang. Disamping itu, jumhur ulama juga mensyaratkan orang yang berakad harus cerdas. Sekalipun telah berakal dan balig, tetapi kalau tidak cerdas, tidak sah untuk melaksanakan transaksi al-wadi’ah.
           Syarat kedua akad al-wadi’ah adalah bahwa barang titipan itu jelas dan boleh dikuasai (al-qabdh). Maksudnya, barang yang dititipkan itu boleh diketahui identitasnya dengan jelas dan boleh dikuasai untuk dipelihara. Menurut para ulama fiqh, syarat kejelasan dan dapat dikuasai ini dianggap paling penting karena terkait erat dengan masalah kerusakan barang titipan yang mungkin akan timbul atau barang itu hilang selama dititipkan. Jika barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai orang yang dititipi, apabila hilang atau rusak, maka orang yang dititipi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban di mahkamah.
V.       Sifat Akad al-Wadi’ah
           Dilihat dari segi sifat akad al-wadi’ah, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa akad al-wadi’ah bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad. Apabila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat al-wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab untuk memelihara barang titipan itu. Namun demikian, apakah tanggung jawab memelihara barang itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (adh-dhaman)? Dalam kaitan dengan ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status al-wadi’ah di tangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggung jawab orang yang dititipi, kecuali kerusakan itu dilakukan secara sengaja atau atas kelalaian orang yang dititipi.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan:
Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan penghianatan tidak dikenakan ganti rugi. (HR. Al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Dalam riwayat lain dikatakan:
ﻻضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمِنِ (رواه الدار قطنى عن عمر بن شعيب)
Artinya:
Orang yang dipercaya memegang amanah tidak boleh dituntut ganti rugi. (HR. asDarquthni dari ‘Amr ibn Syu’aib)
           Berdasarkan hadis-hadis ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila dalam akad al-wadi’ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas keruakan barang selama dalam titipan, sekalipun kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka akadnya batal. Akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad al-wadi’ah adalah pihak ang dititipi barag tida boleh meminta upah dari barang titipan itu.
           Dalam kaitannya dengan tata cara memelihara barang titipan, terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh.
           Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa titipan itu hanya menjadi tanggung jawab orang yang dititipi. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa pihak keluarga yang ikut bertanggung jawab atas barang titipan itu hanya orang-orang yang dapat dipercayai oleh penerima titipan. Apabila orang-orang ini lalai dalam memelihara barang titipan itu, sehingga barang itu hilang, mereka juga ikut bertanggung jawab.
           Akan tetapi ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa barang titipan itu harus dipelihara oleh orang yang dititipi sebagaimana memelihara barangnya sendiri, baik pemeliharaan itu dilakukan sendiri oleh orang yang dititipi maupun dilakukan oleh orang-orang yang berada dibawah tanggung jawabnya. Ulama Hanafiyah bahkan menyatakan bahwa al-wadi’ah juga menjadi tanggung jawab orang yang bekerja sama dengan orang yang dititipi. Oleh sebab itu, apabila orang-orang yang seperti ini lalai dalam memelihara barang itu sehingga barang itu hilang, maka mereka juga boleh dimintai pertanggung jawabannya.

VI.   Perubahan Akad al-Wadi’ah dari Amanah Menjadi ad-Dhaman
           Derkaitan dengan sifat akad wadi’ah sebagai akad yang bersifat amanah, yang imbalannya hanya mengharap ridha Allah, para ulama fiqh juga membahas kemungkinan perubahan sifat akad al-wadi’ah dari sifat amanah menjadi sifat adh-dhaman (ganti rugi). Para ulama fiqh mengemukakan beberapa kemungkinan tentang hal ini:

a.    Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang merusak barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu, maka ia dianggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi (adh-dhaman).
b.    Barang titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggung jawabnya. Apabila barang itu hilang atau rusak, dalam kasus seperti ini, orang yang dititipi dikenakan ganti rugi.
Tetapi, menurut jumhur ulama, termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa pemilik barang boleh memilih meminta ganti rugi kepada pihak pertama atau pihak kedua.
c.    Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. Dalam kaitan ini para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila orang yang dititipi barang itu menggunakan barang titipan dan setelah ia gunakan barang itu kemudian rusak, maka orang yang dititipi wajib membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan itu disebabkan faktor lain diluar kemampuannya. Alasan mereka adalah, karena barang titipan itu dititipkan hanya untuk dipelihara, bukan untuk digunakan, karenanya dengan memanfaatkan barang titipan, al-wadi’ah boleh dianggap batal. Atau dengan kalimat lain, pemanfaatan barang titipan, menurut mereka, berarti suatu penghianatan.
d.   Orang yang dititipi al-wadi’ah mengingkari al-wadi’ah itu. Apabila pemilik barang meminta kembali barang titipannya pada orang yang ia titipi, lalu orang yang disebut terakhir ini mengingkarinya atau ia sembunyikan, sedangkan ia mampu untuk mengembalikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Hukum ini disepakati ulama fiqh.
e.    Orang yang dittipi barang itu mencampurkannya dengan harta pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama berpendapat apabila barang itu sulit dipisahkan, maka pemilik berhak meminta ganti rugi. Tetapi, jika barang itu boleh dipisahkan, maka pemilik barang mengambil barangnya itu.
menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-syaibani, dalam kasus seperti ini pemilik barang bisa memilih. Apabila ia mau, barang itu dijual semuanya, dan kemudian ia mengambil uang hasil penjualan itu senilai barang yang ia titipka. Atau, ia ambil setengah dari hartanya yang telah tercampur dengan harta orang yang dititipi itu.
f.     Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan. Misalnya, pemilik barang mensyaratkan bahwa barang itu dipelihara atau diamankan di rumah, dikantor atau dalam brangkas, tetapi syarat itu tidak dipenuhi orang yang ditipi. Apabila barang itu rusakatau hilang, maka ia dikenakan ganti rugi, kecuali tempat pemindahan itu sama dengan syarat-syarat yang dikemukakan penitip barang.
g.    Barang titipan dibawa bepergian (as-safar). Apabila orang yang dititpi melakukan suatu perjalanan yang panjang dan lama, lalu ia bawa barang titipan itu dalam perjalanannya,maka penitip barang boleh meminta ganti rugi.
                        Dalam perkembangan konsep al-wadi’ah diberbagai dunia Islam dijumpai berbagai bentuk, semakin bervariasi, dan pihak-pihak yang terlibat pun semakin beragam. Misalnya, giro pos dan tabungan yang dikelola oleh pihak perbankan, pada dasarnya, merupakan barang titipan yang dapat diambil setiap saat oleh orang yang menitipkannya,
                        Akan tetapi, tabung uang dalam bank terkait denagn masalah bunga bank, sedangkan al-wadi’ah pada prinsipnya hanyalah merupakan akad tolong menolong tanpa ada imbalan jasa. Disamping itu, uang yang dititipkan dibank, biasanya digunakan oleh pihak bank sehingga dengan demikian ia mendapatkan keuntungan. Keuntungan ini, biasanya dibagikan kepada para nasabah sesuai dengan peraturan bank. Kemudian, biaya administrasi untuk barang dibank harus dikeluarkan oleh pihak yang menitipkan uang atau barangnya, sebagai imbalan jasa yang diberikan kepada bank. Disinilah letak variasi yang muncul dalam perkembangan al-wadi’ah sampai sekarang.
                        Jika barang titipan itu (umpamanya uang) dimanfaatkan oleh pihak bank, kemudian dikembalikan lagi secara utuh, dan bahkan dilebihkan sebagai imbalan jasa, menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya boleh, sekalipun dalam pemanfaatan imbalan jasa dari bank ini disedekahkan pada orang yang memerlukan atau bait al-mal. Tetapi menurut ulama Syafi’iyah tidak boleh dan akadnya dinyatakan gugur.
                        Adapun berkaitan dengan imbalan jasa yang diterima oleh pemilik titipan berupa bungan dari pihak bank, terdapat perbedaan di kalangan ulama. Jika barang titipan itu dimanfaatkan, kemudian mendapat untung, sedangkan barang titipan itu tidak rusak, maka Imam Abu Hanifah mengatakan keuntungan itu disedekahkan. Ibnu Juza al-Maliki, pakaer fiqh Maliki, mengatakan bahwa keuntungan menjadi milik orang yang dititipi (dalam kasus ini pihak bank), atau menjadi milik penitip uang. Akan tetapi, ulama Malikiyah lainnya menyatakn keuntungan itu diserahkan ke baitul mal (perbendaharaan negara).
                        Sedangkan masalah yang menyangkut biaya pemeliharaan barang (yang dalam bank diistilahkan sebagai biaya biaya administrasi), merupakan tanggung jawab pemilik barang atau uang, karena pihak yang dititipi hanya bertugas memelihara, sedangkan biaya pemeliharaan dibebankan kepada pemilik barang.


GADAI (RAHN)

A.    Pengertian
Menurut bahasa, gadai (ar-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan atau secara arti kata ruhnu atau rungguhan, agunan atau jaminan mengandung arti “tetap dan tertahan”.
Dalam arti istilah para ulama mengartikannya dengan menjadikan barang berharga sebagai jaminan suatu utang dengan begitu agunan itu berkaitan erat dengan utang piutang dan timbul dari padanya.
Maka orang yang memegang Rahn (marhum) dinamakan Murtahin. Orang yang memberi rahn atau yang menggadaikan atau si madin, dinamakan rahin. Barang yang dinamakan barang gadaian itu dinamakan Marhun bihi.

B.     Dasar Hukum Rahn
Hukum meminta agunan itu adalah mubah berdasarkan petunjuk Allah dalam      Al Qur’an dan penjelasan dari Nabi. Adapun dalil Al Qur’an diantaranya surat Al baqoroh ayat 283 yang berbunyi :

Î)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B      (البقره : 283)
Artinya      :   “Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu (Al Baqoroh : 283)
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibu Majab dari anas r.a. ia berkata :
رَهَنَ رَسُو لُ الله ص م دِرْعًاعِنْدَ يَهُوْدِىْ بِلْمَدِ يْنَةِ وَاَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًالاَِهْلِهِ
“Rosulullah saw merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”.

Dari  hadist di atas dapat dipahami bahwa agama islam tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan non muslim dalam bidang muamalah, maka orang muslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun kepada non muslim
§  Alasan hukum bolehnya muamalah dengan memberikan agunan itu adalah memberikan keringanan kepada pelaku, muamalah dalam pergaulan hidup dan kepuasan hati baginya dalam bermuamalah.
§  Unsur-unsur yang terlibat dalam muamalah agunan itu antara lain :
  1. Orang yang berhutang dan menyerahkan barang berharga sebagai jaminan, disebut orang yang memberikan agunan atau rahn.
  2. Orang yang berpiutang dan menerima barang sebagai agunan disebut orang yang memegang agunan atau al marhun
  3. Barang yang diagunkan atau disebut al marhun.

C.    Rukun dan Syarat Gadai
 Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun antara lain :
1.      Akad Ijab dan Kabul
Contoh seseorang berkata “aku gadaikan tanahku ini dengan harga Rp. 10.000.000,00 dan yang satu lagi menjawab “Aku terima gadai tanahmu seharga Rp. 10.000.000,00” atau bisa pula dilakukan selain dengan kata-kata misal bisa dengan surat, isyarat atau lainnya.
2.      Aqid yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3.      Barang yang dijadikan jaminan (borg) syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
4.      Ada utang disyaratkan keadaan utang telah tetap.

Jadi syarat untuk dua pihak yang berakad ialah mempunyai kecakapan untuk bertindak dalam muamalah yaitu dewasa dan berakal sehat dan berbuat atas kehendak sendiri dan tidak berada di bawah pengampuan. Sedangkan syarat yang berkenaan dengan barang agunan ialah dia barang yang bernilai milik sempurna dari yang mengagunkan telah ada ditangannya dan dapat diserahkan pada waktu akad yang kemudian dipegang oleh yang menerima agunan.

§  Rahn memiliki 4 unsur diantaranya yaitu :
1.      Rahin (orang yang memberikan jaminan)
2.      Al-murtahin (orang yang menerima)
3.      Al-marhun (jaminan)
4.      Al-marhun bihi (utang)
§  Menurut ulama Hanafiyah rukun rahn adalah ijab dan qobul dari rahin dan almurtahin sebagaimana pada akad yang lain.
Akan tetapi akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
§  Adapun menurut ulama selain Hanafiyah rukun rahn adalah aqid (orang yang akad), marhun dan marhun bih

D.    Pengambilan Manfaat Barang Gadaian (Rahn)
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama berbeda pendapat antara jumbur Fuqaha dan Ahmad.
§  Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba
§  Menurut Imam Ahmad, Ishak, Al-laits dan Al-hasan berpendapat jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya maka penerima gadai dapat mengambil manfaatnya dari kedua benda gadai tersebut, disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Rosul bersabda :
اَلظَّهْرُيُرْ كِبُ أِذَاكَانَ مَرْهُوَ نًاوَلَبَنُ الذَّرَّيَشْرَبُ إِذَاكَانَ مَرْهُوْناًوَعَلَى الَّذِىْ يَرْكَبُ
 وَيَشْرَ بُ نَفَقَتُهُ (رواه الجخارى)

“Binatang tunggangan boleh ditunggani karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.

Jadi pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas tekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.

E.     Risiko Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya. Kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disial-siakan, umpanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun. Bila marhun itu rusak atau hilang karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak. Demikian pendapat ahmad Azhar Basyir.
Perbedaan dua pendapat tersebut ialah menurut Hanafi Murtahin harus menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun yang dipegangnya baik Marhun hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya. Sedangkan menurut Syafi’iyah murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.

F.     Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan,” sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.

Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlahutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.

 

2 komentar:

  1. Nama : Septi Aditia Kurniawati
    Kelas : Q (NR)
    Nim : 2021314405
    30 mei 2015

    BalasHapus
  2. وَعَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا أَتَتْكَ رُسُلِي فَأَعْطِهِمْ ثَلَاثِينَ دِرْعاً , قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَعَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ أَوْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ? قَالَ: بَلْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
    Artinya:
    Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

    BalasHapus